MAKASSAR, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID — Anti Corruption Committe (ACC) Sulawesi menilai kinerja Aparat Penegak Hukum (APH) baik kepolisian maupun kejaksaan masih lemah soal penanganan kasus korupsi sepanjang 2021. Berdasarkan catatan ACC Sulawesi, puluhan kasus korupsi hanya semangat di awal, namun penanganannya tidak jelas hingga akhirnya mandek.
Di Polda Sulsel sendiri, ACC Sulawesi mencatat ada sebanyak 64 kasus yang ditangani. Rinciannya, 39 masih dalam tahap penyelidikan dan 25 dalam tahap penyidikan. Sementara di Kejati dan Kejari tercatat ada 70 kasus dengan rincian, 41 kasus masih tahap penyelidikan dan 29 kasus ditahap penyidikan.
“Total kesemuanya ada 99 kasus dengan 99 terdakwa. adapun jumlah kerugian negara kurang lebih sekitar Rp58,5 miliar,” ungkap Direktur ACC Sulawesi, Kadir Wokanubun, Rabu (29/12) saat konferensi pers akhir tahun di Kantor ACC Sulawesi.
Kata dia, sumber data informasi yang dirilis ACC Sulawesi bersumber dari dokumen kasus, investigasi, dari pihak terkait dalam hal ini penegak hukum atau instansi terkait juga dari pemantauan media. ACC juga menyebut kinerja pemerintah daerah dalam melakukan pencegahan korupsi belum maksimal.
Hal tersebut dapat dilihat pada data Survei Penilaian Integritas (SPI) tahun 2021 oleh KPK. Tiga kabupaten dan kota di Sulsel dengan nilai skor terendah yaitu Kabupaten Bulukumba 64,32 persen, Selayar 55,57 persen, dan Kota Makassar 59,95 persen.
Kadir mengungkapkan, ada sejumlah kasus yang sangat menonjol belakangan seperti kasus korupsi Covid-19 yang tidak ditangani dengan baik di Kejaksaan Negeri maupun Kepolisian, faktanya kasus itu tidak pernah dilimpahkan.
Untuk itu, ACC Sulawesi menyimpulkan pemberantasan korupsi Covid-19 terbilang jalan santai. Artinya kejaksaan dan kepolisian tidak begitu serius dan memberikan atensi khusus tentang itu.
“Itu baru satu sektor di konteks kasus Covid-19 belum lagi kalau bicara tentang kasus di pengadaan barang dan jasa, atau pun juga kasus-kasus di sektor pendidikan atau kesehatan,” paparnya.
“Faktanya, banyak kasus tapi kemudian tidak berjalan maksimal. Pandemi Covid-19 seharusnya tidak menjadi alasan APH untuk memberantas korupsi,” tambahnya.
Terkait upaya pencegahan, sambung Kadir–sapaan akrabnya, dirinya mencontohkan seperti dana desa. Di mana, ada proses monitoring dan evaluasi yang bisa dilakukan Dinas PMD yang ada di pemerintah daerah kemudian bisa juga dilakukan di pemerintah provinsi.
Namun, monitoring dan evaluasi itu tidak berjalan maksimal. Buktinya, setiap tahun data yang dirilis ACC Sulawesi ternyata tren korupsi dana desa ini naik. Hal itu timbul pertanyaan terkait fungsi dan peran pemerintah kabupaten ataupun provinsi untuk kemudian mencegah ini.
“Ternyata tidak ada sama sekali juga. Itu juga terkonfirmasi dengan data MCP dari KPK kemudian data dari survei penilaian integritas, itu kan terkonfirmasi semua. Kami kemudian menyampaikan bahwa situasi 2021 jalan santai pemberantasan korupsi. Bukan karena pandemi, tapi karena pemberantasan korupsi tidak dijadikan agenda prioritas,” bebernya.
Selain itu, dalam konteks penanganan kasus ACC Sulawesi juga menyoroti terkait APH yang kerap menutupi informasi dengan dalil berbagai modus. Misalkan saja kasus koperasi di Luwu Timur. Kasus ini ditangani Polda Sulsel yang awalnya ada pemberitaan namun belakangan informasinya hilang.
“Di situ saya katakan pentingnya informasi publik. Karena kalau tidak ada informasi publik semua akan buram. Dia akan hilang. Informasi publik yang kami maksud adalah kami tidak pernah menanyakan siapa tersangkanya, kemudian sejauh mana materi perkaranya kami tidak masuk di situ,” ungkapnya.
“Yang kami maksud adalah sampaikan progresnya sejauh mana. Berapa saksi yang diperiksa ataukah statusnya masih penyelidikan atau penyidikan atau sudah dilimpahkan atau kemudian dihentikan. Itu yang saya maksud informasi publik,” jelasnya.***