KIPI Minta Pemerintah Daerah Tidak Paksa Warga Berpenyakit Tertentu Disuntik Vaksin

  • Bagikan

MAKASSAR, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID — Koordinator KOMDA KIPI Sulsel Martira Maddeppungeng mengaku belum menerima laporan soal Siswa SMAN 2 Bulukumba yang dilarikan ke rumah sakit usai vaksinasi. Martira meminta Pemda bisa memperhatikan hal seperti ini.

Kata Martira, vaksin bertujuan untuk melindungi masyarakat. Bukan menambah penyakit. Olehnya, vaksinator sudah dilatih khusus. Merekalah yang menentukan apakah orang ini layak disuntik atau tidak. Semua orang yang hendak divaksin juga harus melewati skrining.

Kata Martira, vaksinator tidak boleh memaksakan orang yang tidak layak untuk divaksin. Apalagi jika memiliki penyakit tertentu.

“Ada hal yang mungkin perlu kita tahu, bahwa ada memang target. Tapi target bukan segalanya. Target dicapai demi melindungi komunitasnya. Akan tetapi skrining juga untuk layak divaksin tetap harus dilaksanakan,” ujar Martira, Kamis 6 Januari 2022 seperti dilansir suara.com.

Sebelumnya, Frienzy Sugita, siswa Kelas III SMAN 2 Bulukumba terpaksa harus berbaring lemah di rumah sakit. Ia mengalami sejumlah gejala usai disuntik vaksin Covid-19.

Frienzy diketahui punya penyakit auto imun. Sejak kecil, ia sudah mengidap lupus.

Ayah Frienzy, Hasan mengaku sejak hari Senin, 3 Januari 2022 lalu, anaknya tidak diperkenankan mengikuti pembelajaran tatap muka di sekolah. Sebab, dia belum divaksin.

“Aplikasi peduli lindunginya merah karena belum vaksin. Pihak sekolah tidak izinkan belajar tatap muka walau saya sudah memohon,” ujar Hasan, Kamis, 6 Desember 2021.

Baca Juga:
Joki Vaksinasi Terbongkar, Ganjar Beri Peringatan: Kita Itu Mau Melindungi

Awalnya, Hasan mengaku khawatir vaksin tidak cocok dengan kondisi kesehatan anaknya. Apalagi Frienzy selama ini menjalani kemoterapi, biopsi ginjal, pemeriksaan kulit dan mata.

Puskesmas juga sudah mengeluarkan surat keterangan agar sang anak tidak perlu divaksin. Namun pihak sekolah menolak.

“Kami minta kebijaksanaan tapi tetap ditolak karena katanya aturan dari Bupati itu wajib vaksin,” tambahnya.

Hasan kemudian meminta opsi lain. Bagaimana agar Frienzy mengikuti pembelajaran secara online.

Pihak sekolah kemudian sepakat. Namun Hasan menganggap tidak berjalan maksimal karena pelajaran yang diberikan di sekolah tidak sama dengan yang didapatkan secara online.

“Di sekolah empat mata pelajaran, kalau online kadang hanya dua. Tugas anak saya pun menumpuk kadang, anak ini jadi kesal. Stres,” tambahnya.

Frienzy kemudian membujuk ayahnya agar divaksin saja. Hasan mengaku tak tega sebab anaknya sudah kelas III SMA.

Jika tidak divaksin, maka kelak sang anak akan sulit untuk mengikuti ujian. Desakan untuk vaksin kemudian diturutinya.

Hasan kemudian memeriksakan anaknya ke dokter interna. Semua tekanan, darah dan kondisi Frienzy diperiksa. Dokter ahli, kata Hasan, mengeluarkan surat keterangan bahwa Frienzy bisa divaksin.

“Namun lima menit setelahnya, Frienzy merasakan sesak napas, muntah, sakit kepala hebat, badan keram, menggigil hingga seluruh tubuh. Saat ini dirawat di rumah sakit,” tuturnya.

Hasan berharap kasus seperti ini tidak terjadi lagi. Pemerintah daerah harus mempertimbangkan kesehatan warganya dibanding fokus mengejar target vaksinasi. “Apalagi masyarakat semacam kami ini tidak tahu menahu jika ada kejadian seperti ini kami mengadu kemana. Panik. Jadi saya harap pemerintah bisa mengerti, jangan segala-galanya surat vaksin jadi syarat utama walaupun hanya untuk belajar,” harapnya.***

  • Bagikan