BULUKUMBA, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID — Dialog Publik bertema “Hapuskan Stigma dan Diskriminasi Kusta” memberikan edukasi pada masyarakat untuk memahami kusta dari berbagai sudut pandang. Hingga kini Bulukumba masih urutan ke-2 di Sulsel dalam penanganan kusta dengan jumlah 103 kasus. Dialog Publik yang digelar Jumat malam 28 Januari 2022 di Cafe Sebatiq Bulukumba, menghadirkan pembicara dari Dinas Kesehatan, PerMaTa Indonesia, Lagislator PKB dan lembaga mitra lainnya seperti YDTI.
Kepala Bidang Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) Dinas Kesehatan Bulukumba, Kasmarinda mengungkapkan, Bulukumba masih urutan ke-2 tertinggi sebagai kasus prevelensi. Sulitnya menekan angka disebabkan stigma terhadap kusta yang masih besar sehingga berdampak pada ketidakpercayaan diri penderita dan keluarga untuk membuka diri dan berobat. Akibatnya, mereka kerap lambat mendapatkan penanganan.
“Yang membunuh penderita sebenarnya bukan penyakitnya tapi stigma kusta ini. Pengetahuan berobat mereka masih minim, tapi yang menggembirakan tidak banyak kasus pengobatan yang putus,” ujarnya.
Kantong tertinggi kasus di Sulsel selain Bulukumba ada di Sinjai dan Bone. Bulukumba, dalam upaya menekan hal tersebut, mendorong puskesmas untuk bekerjasama dengan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa mendeteksi warga yang mengalami kusta. Untuk optimalisasi, intervensi akan fokus pada wilayah kecamatan di mana kasusnya paling tinggi seperti di Kajang.
Kasmarinda menjelaskan, kusta adalah penyakit infeksi kronis yang menyebabkan lesi kulit dan kerusakan syaraf yang dapat disembuhkan. “Penularan bakteri mycobacterium leprae tidak gampang, sehingga penderita tidak perlu dijauhi. Sedangkan penderita yang sembuh tidak punya potensi menularkan lagi,” tegasnya.
Perwakilan dari PerMaTa (Perhimpunan Mandiri Kusta) Indonesia, Alqadri memaparkan, permasalahan terkait kusta bukan pada penyakitnya melainkan stigma. Pemahaman yang keliru melihat kusta membuat penderita dan OYPMK (Orang yang Pernah Menderita Kusta) sulit keluar dari self-stigma. Kusta dapat disembuhkan, tapi pemahaman keliru terkait kusta belum bisa diatasi.
“Sulit bagi penderita dan OYPMK keluar dari cengkraman stigma. Sehingga jika eliminasi dengan indikator kurangnya penemuan kasus ini sangat berbahaya karena bisa jadi ini fenomena gunung es,” katanya.
Karenanya, Ppnting untuk terus melakukan sosialisasi dan memahamkan masyarakat soal kusta dan bagaimana menghapus stigma. “Stop stigma kusta dapat dimulai dari berhenti bersumpah “kanda-kandalaka”. Kata tersebut merupakan stigma kusta di mana kesannya penyakit ini terjadi karena kejahatan di masa lalu. Padahal kusta bukan penyakit keturunan dan juga bukan karena kutukan,” urai Alqadri.
Sementara legislator dari PKB, Andi Soraya Widyasari mengatakan, dalam penanganan kusta, fokus kita tidak hanya dalam hal eliminasi tapi sama-sama mengedukasi masyarakat agar tidak ada lagi stigma. Tugas menghapuskan stigma bukan hanya dari legislator dan eksekutif tapi semua punya peran termasuk media.
Di Bulukumba, ada banyak kasus yang didampingi PerMaTa yang kasusnya tersembunyi karena masyarakat masih malu memiliki keluarga yang terjangkit kusta maupun OYPMK. Merka perlu dibantu untuk diberikan hak dan keadilannya.
“Mereka perlu dibantu untuk berobat. Kita bantu agar mereka tersentuh pemerintah, dan kita bantu mengangkat derajatnya,” katanya.
Budayawan Bulukumba, Andhika Mappasomba, sekaligus komisioner KIP mengungkapkan, berbicara tentang kebudayaan dan stigma adalah dua hal berjalan beriringan. Budaya adalah jalan kedua setelah agama. Namun yang perlu dipahami bersama bahwa orang yang tak beragamapun harus berbuat baik, hal ini disebut kultur.
“Agama berbicara nilai dan budaya pun demikian. Seluruh yang buruk itu bukan budaya tapi kelakuan yang buruk termasuk stigma adalah bagian dari kelakuan buruk,” jelasnya.
Kusta diakuinya mendapat stigma yang besar pada lingkungan tertentu. Perlu dipahami bahwa mitologi lahir dari mitos karena batas kemampuan manusia berfikir. Keterbatasan berfikir ini menjadi salah satu jalan lahirnya stigma karena manusia secara naluriah butuh jawaban.
Di lingkungan lainnya tak menganggap kusta mengancam, dalam kasus ini ada pikiran positif bahwa kusta tidak menular dengan massif. Untuk mendorong lingkungan positif ini, OYPMK harus berdiri di atas panggung menyampaikan inspirasi dan capaian-capaian prestasinya.
Kerstin Baise dari Yayasan DedinasinTjipta Indonesia menyampaikan bahwa bahasa yang tepat menjadi bagian dari pengurai stigma. Misalnya penyebutan untuk orang yang pernah terkena kusta harus dipertegas. “Bukan tetap menyampaikan bahwa mereka kusta,” tegasnya. Hal tersebut kata Kerstin membantu pemulihan martabat mereka. ***