MAKASSAR, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID — Wahidah Rustam atau akrab disapa Ida Rustam, meninggal dunia pada Jumat 4 Februari 2022. Ia tidak hanya dikenal sebagai aktivis perempuan di Sulsel tapi juga seorang feminis di Indonesia. Anggota Institute for Women’s Empowerment (IWE) ini menghembuskan nafas terakhir di kediamannya di Makassar setelah berjuang panjang hidup bersama komplikasi penyakit yang menderanya. Selama bertahun-tahun Ida mengidap autoimun. Belakangan ia juga divonis mengidap lupus dan terakhir, ginjalnya dinyatakan bocor oleh dokter.
Sepanjang usia, Ida yang pernah menjabat sebagai Ketua BEK SP Angin Mammiri dan Ketua Badan Eksekutif Nasional (BEN) Solidaritas Perempuan nyaris tidak pernah mengeluhkan sakitnya. Ia bahkan selalu menyebut sudah sangat bersahabat dengan segala penyakit yang datang. “Saya harus berdamai dengan semuanya. Agar bisa tetap kuat dan bisa tetap bekerja untuk kemanusiaan,” katanya suatu waktu.
Perempuan multi talenta ini memang membuktikan itu. Ia tak pernah berhenti bergerak. Termasuk tetap menulis puisi, mencipta lagu dan masih banyak lagi. Sosoknya senantiasa hadir di antara para pejuang perempuan baik di Sulawesi Selatan, di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia. Ida adalah satu dari sedikit pembela kelompok marjinal yang konsisten dalam perjuangannya. Bahkan di saat-saat terakhir, saat ia harus kembali ke Makassar meninggalkan ibukota, Ida memilih berada di sebuah desa kecil di Kabupaten Bone. Ia mendampingi komunitas kusta di sana agar tetap kuat dan berdaya.
Itulah kenapa, kabar meninggalnya Wahidah Rustam membuat sahabat dan aktivis perempuan di Indonesia tersentak. Semua nyaris tak percaya. Perempuan pemberani itu telah tiada. “Dia masih menulis di grup Jumat Berkah yang ia buat saat sudah tak mampu beraktivitas banyak di luar rumah. Grup itu Ida dedikasikan untuk menggalang donasi agar bisa tetap berbagi bahagia di hari Jumat kepada perempuan-perempuan yang bekerja di jalanan. Memberi mereka makan lewat nasi kotak yang kadang diantarkannya sendiri dengan mengendarai motor,” ujar Sustriani A. Tahir, sahabat Ida di Koalisi Perempuan Indonesia.
Pagi itu pukul 09.43, Jumat 4 Februari 2022 Ida menulis pesan. “Sisa saldo per 4 Februari 775.000, kawan-kawan saat ini kondisi saya sangat down. Saya berupaya melaporkan ini ke kita semua karena itu amanah kawan-kawan yang harus saya lakukan. Jika terjadi sesuatu pada saya, mohon untuk menginformasikan kepada adik saya agar mengambil sisa saldo kas di rekening. Mohon maafkan saya untuk semua kesalahan dan khilaf yang telah saya lakukan kepada kita semua. Terimakasih. Sayang untuk kita semua.”
Tak ada yang mengira itulah kalimat terakhir sebagai salam perpisahan dari sang pejuang. Semua sahabatnya di Makassar yakin Ida tak akan pernah menyerah. Ia selalu kuat menghadapi segala situasi. Tapi sang waktu rupanya sudah tiba. Pukul 20.05 Jumat malam, Ida benar-benar pergi meninggalkan semua kenangan dan jejak kebaikan yang pernah ia lakukan.
Salah satu sahabatnya Donna Swita di Solidaritas Perempuan di sekretariat Nasional, mengatakan, Ida menunjukkan bahwa penyakit bukan alasan untuk berhenti bermimpi. Ida memimpin Solidaritas Perempuan yang beranggotakan 800 orang dan tersebar di 16 komunitas di seluruh Indonesia. Ia juga mendirikan organisasi Aksi! for Gender, Social and ecological justice bersama aktivis perempuan Titi Soentoro, Risma Umar, Marhaini Nasution, Wardarina dan Anita.
Wahidah Rustam, aktivis perempuan asal Sulawesi Selatan kelahiran Makassar 10 April 1974, telah mencatat banyak jejak perjuangan. Ida sendiri mengenal dunia pergerakan perempuan melalui tokoh perempuan Sulsel almarhum Zohra Andi Baso. “Pertama kali bergabung saat kami diajak oleh Kak Zohra untuk ikut serta dalam People Forum di Bali tahun 2001,” ujar Hania, sahabat Ida sejak kuliah di IAIN Alauddin Makassar.
Sejak 2001 itulah, Ida aktif melakukan pembelaan pada hak perempuan dan kelompok marjinal dan mendukung tindakan perempuan akar rumput untuk keadilan gender, sosial dan ekologi. Selain itu Wahidah juga mengajar di Universitas Muhammadiyah Makassar.
Bagi Ida, perempuan harus lepas dari pemiskinan karena terampasnya sumber daya alam oleh kekuasaan. Ia juga selalu berpandangan bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak terbatas pada kekerasan fisik dan verbal oleh individu, tetapi juga oleh negara melalui kebijakan-kebijakan yang menghilangkan akses dan kontrol perempuan terhadap sumber daya kehidupannya, termasuk keluarga dan lingkungannya.
Bagi Ema Husain, aktivis perempuan di Sulsel, Ida adalah seorang aktivis perempuan yang konsisten memperjuangkan hak-hak perempuan dan kelompok rentan lainnya.
“Ida adalah kawan, adik yang mengajarkan banyak hal kepada kita semua. Dia juga mendedikasikan dirinya untuk membantu memperjuangkan hak-hak kawan disabilitas. Ida sahabat yang selalu ceria dan hangat kepada siapa saja,” ujar Ema, saat doa dan takziah virtual.
Prof Aisyah, dosen dari Wahidah Rustam yang sedang menjalani kuliah S3 di UIN Alauddin Makassar menambahkan, Ida adalah contoh perempuan yang tak pernah berhenti untuk belajar. “Ia seorang pembelajar yang haus pengetahuan. Dalam keadaan berbaring dan dibantu oksigen ia masih ikut kuliah daring dan memberikan kontribusi pemikiran yang kritis terutama dalam hal kepemimpinan perempuan,” terang Prof Aisyah.
Ida memang menyimpan banyak kenangan baik. Salah satu warisan yang ditinggalkannya adalah Buku Menghapus Jejak Stigma di Lerang Dua. Ini adalah buku catatan pendampingan yang ditulisnya saat mendampingi komunitas kusta di sebuah desa di Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Atas semua yang telah dilakukan semasa hidup, Wahidah Rustam bagi kawan-kawannya tidak benar-benar pergi. Ia hanya sedang istirahat panjang. Semangat Wahidah Rustam akan terus ada. Semangat yang diwariskan kepada kawan, sahabat, adik-adiknya di pergerakan dan kampus. Bahwa segala bentuk kekerasan terhadap perempuan memang tak bisa dibiarkan. Keadilan dan kesetaraan harus tetap diperjuangkan.***
Penulis: Sunarti Sain