BULUKUMBA, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID — Sejumlah warga Kecamatan Kajang, melaporkan akun Facebook, Amria amria, ke Kantor Polres Bulukumba, pada Senin 7 Februari 2022 lalu. Akun Amria dipolisikan, karena diduga menyinggung pakaian adat kajang yang serba hitam.
Menyikapi hal itu, Kahar Ilyas, salah satu Tokoh Kajang, mengatakan apa yang dilakukan sekelompok warga di Kecamatan Kajang, dengan melaporkan akun Facebook Amria-amria ke Polisi adalah salah alamat. Jika dianggap melanggar adat kajang harusnya melapor ke Bohe’ Amma, Galla Puto, atau Lompo karaeng.
“Kalau dianggap melanggar adat, kok dilaporkannya ke Polisi, kan ada hukum adat, tapi biarpun di laporkan ke adat (Amma Toa) ini tidak bisa kena juga, karena kejadiannya bukan di dalam kawasan adat, jadi pelapor ini salah alamat,” terang Pria kelahiran Lurayaa, Tanah Toa Kajang ini. Jumat 11 Februari 2022.
Dikatakan, hukum adat Kajang diberlakukan bagi mereka yang melakukan pelanggaran adat di dalam kawasan, sehingga boleh memberlakukan hukuman Pokok Ba’bala, (Hukuman Keras), Tangga’ Ba’Bala,( Hukuman Sedang) dan Cappa Ba’bala (Hukuman Ringan).
“Tapi jangan kita campur adukan antara hukum adat dan hukum positif kita. Postingan Amria-amria yang mengenakan kain hitam seperti pocong berwarna hitam, jangan kita tafsirkan apalagi berpersepsi sendiri, karena motif dan maksud tujuannya itu pemilik akun Amria lah yang tahu,” katanya.
Apalagi dikatakan Kahar Ilyas, dalam postingan Amria Amria tak menyebut suatu kelompok, individu bahkan Kajang secara umum. Menurutnya, jika Amria amria dijerat pasal 28 ayat 2 UU ITE tentang penyebaran kebencian, lalu bagaimana dengan UU dasar pasal 28 huruf A tentang kebebasan berdemokrasi.
“Saya melihatnya ini bentuk ekspresi saja sebagai seorang warga negara yang hidup dalam bangsa yang menganut sistem demokrasi, bisa saja postingan itu sebagai simbol matinya demokrasi, ataukah dimaknai sebagai pestamu adalah dukaku, ataukah sebagai simbol pembungkaman, tapi lagi-lagi Amria lah yang tahu apa maksudnya itu,” katanya.
Dikatakan, dengan adanya kelompok warga asal Kajang yang melapor justru malah membuat keruh suasana dan kegaduhan.
“Saya warga Kajang, saya lahir di Lurayaa, asli Kajang, saya tidak merasa terhina, itu kan gambar pocong masa disama-samakan passapu atau pakaian adat kajang, hitam itu warna Universal, kan ini si palapor yang mencocok-cocokkan sendiri,” terangnya lagi.
Kahar Ilyas berharap bahwa kasus tersebut jangan sampai tersusupi kepentingan politis, atau adanya upaya pembungkaman terhadap masyarakat dalam meluapkan aspirasinya.
“Ikat kepala Amria kan seperti pocong, itu jauh beda dengan passapu, lalu yang dimananya dianggap menghina. Sedang warna hitam itu adalah warna umum yang siapa saja boleh memakainya,” tegasnya.
Terakhir, dia berharap agar pihak kepolisian jeli dan profesional dalam memproses kasus tersebut. Karena dia khawatir jika pelaporan-pelaporan seperti ini dilanjutkan, ke depan akan memicu kasus lainnya, yang justru membuat gaduh lagi.
“Nah kalau mau disalahkan berpendapat bagaimana dengan UU 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia pasal 24 ayat 1 bahwa setiap manusia tidak diskriminasi alias dibatasi hak haknya, postingan amria amria lagi lagi saya sampaikan tak menyebut individu atau kelompok,” tutup Pendiri Sulawesi Selatan Jaya Bersatu (SSJB) yang konsen di bidang pertanian dan Sosial Budaya ini.
Sementara itu, Tokoh Masyarakat Adat Kajang, Kahar Muslim, yang juga turut hadir bersama pelapor (Hamsin Arianto,red), dengan nomor laporan polisi, STTLP/B/77/II/2022/SPKT/POLRES BULUKUMBA/POLDA SULSEL, mengatakan, Akun Amria Amria, dilapor didasari atas sikap pemangku adat Ammatoa, di mana postingan tersebut dinilai pelanggaran Adat. Itulah sebabnya diutus Masyarakat/BPD Tanah Toa melaporkannya pada Polres Bulukumba.
” Tentang Pakai Passapu tapi pakai sandal atau perhiasan atau celana levis dan berada di luar kawasan Adat tidak apa-apa, begitu juga kalau yang bersangkutan terkena penyakit yang tidak memungkinkan tidak pakai sandal masuk kawasan, maka diberi kekhususan. Kalau di luar Kawasan adat tidak apa apa, beda dengan amria itu penghinaan kepada pakaian adat,” terangnya.
Lebih jauh Kahar Muslim kembali menegaskan bahwa dirinya bukan pelapor namun pada saat itu hanya mendampingi para pelapor. Hanya saja, dia mengaku siap memberikan keterangan jika nantinya diminta oleh penyidik. Iapun berharap agar polisi serius mengusut kasus ini dengan segera mencari tahu pemilik akun Amria Amria.
” Kami bukan pelapor tapi kami setuju untuk dilaporkan pemilik akun ini oleh utusan Ammatoa.
Anaknya Ammatoa sendiri (Nani Binti Puto Palada) ikut serta pada rombongan Pelapor.
Pelapor adalah Hamsin dan Saksinya adalah Sainuddin dan Yusuf itu sudah memberikan keterangan di Polres,” ujarnya.
Terpisah, Kanit Tipidter Polres Bulukumba, Ipda Danial Nainggolang, kepada RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID, mengaku kasus tersebut sementara ditangani pihaknya. Saat ini telah dilakukan pemeriksaan saksi-saksi pelapor.
“Iya pelaporannya baru masuk, sementara berproses ada tahapan karena ini perlu pendalaman dulu,” ucapnya. (faj)