Oleh: Jumrana Salikki
Film Ambo Nai Supir Andalan bukan hanya lucu, tapi menyimpan pesan dan kesan kearifan lokal Bugis Makassar yang begitu dalam bagi penontonnya.
Komentar dan tawa menghiasi ruang bioskop di Jakarta. Rasa gemas seolah penonton ikut menjadi pelakon di dalamnya. Puang Karra duduk di samping saya sampai ikut seolah menjadi sutradara. Ikut mengarahkan lakon selanjutnya.
Eksplorasi tentang kehidupan sehari-hari di tanah Ogi-Bugis tergambar dalam film ini. Kesantunan dalam berucap. Bertutur penuh makna, pada situasi normal. Bersikap pada kondisi sulit. Berdiri tegak kala hendak dipermalukan.
Ambo Nai dengan Malla sang sahabat, keduanya sama-sama pengangguran. Hidup kamase-mase (sederhana). Suatu hari Malla berhasil mencarikan pekerjaan bagi Ambo Nai yang menjadi supir bak angkut ikan.
Ambo Nai mengurai bagaimana kesetiakawanan dengan Malla. Rela membagi gajinya sebagai supir sekalipun istrinya lagi hamil besar. Tentu kehidupan keluarganyapun sangat membutuhkan uang itu. Memberi tangan kanan, tangan kiri tak perlu tahu. Komitmen itupun dilakukan sama Puang juragan ikan. Malla – de’ napaulle- adalah keluarga kurang mampu dan tak punya keahlian sebagai supir diangkat menjadi kernek.
Gaji Ambo Nai dibagi dua. Adakah Malla tau? Tentu tidak. Lagi-lagi ini adalah pesse (empati) kepada sesama apalagi sahabat atau kerabat. Juga bagaimana menjaga harga diri Malla. Memperlakukan manusia, diberi tanpa dipermalukan. Di mana kebanyakan orang, setelah memberi diumumkan, “Oh, saya yang kasi uang itu” dan seterusnya.
Persahabatan juga saling mengingatkan di kala ada yang salah. Bukan hanya menghamba karena takut kehilangan teman. Apalagi takut kehilangan sumber-sumber kehidupan. Bos dan anak buah tidaklah berlaku dalam persahabatan. Yang dikedepankan bagaimana kedua bela pihak saling mengingatkan pada jalan kebenaran, keselamatan dan keberkahan. Jauh dari kesombongan, keangkuhan apalagi pengkhianatan.
Si kernek Malla memuji Ambo Nai jika baik. Tapi juga berani mengkritik tatkala ada kesombongan ketika ia bertaruh. Assilessurengngeng (persaudaraan), salama tapada salama (selamat dan saling menyelamatkan). Tiada khianat dalam sarung. Yang dikritik pun tidak boleh marah. Karena itulah hakikat persaudaraan dan persahabatan sesungguhnya. Tidak membiarkan saudara atau sahabat terjerembab pada hal negatif yang akan merugikannya kelak.
Di sisi lain, sesama karyawan si jagoan melakukan pencurian ikan pada proses pengiriman ikan. Setiap pengiriman ikan terjadi kesalahan. Pencurian ini berlangsung masif. Pencurian itu sama dengan korupsi. Minnau atau korupsi adalah mengambil sesuatu yang bukan haknya. Apalagi jika menyangkut kehidupan orang banyak. Di film ini digambarkan penyelewengan pengiriman ikan ke panti asuhan di Makassar.
Dalam skala pengelolaan negara. Betapa korupsi itu menyengsarakan rakyat yang pada akhirnya bermuara pada kebangkrutan. Keserakahan tiada akhir.
Kemiskinan tidaklah membuat Malla ikut larut menjadi pencuri dan khianat ketika bergabung dengan si jagoan. Malla tetap mengingatkan jika yang dilakukan adalah kesalahan besar. Ia rela dibuang di tengah perjalanan dari pada ikut arus yang jelas-jelas mencederai hidupnya kelak.
Lagi-lagi karena kebenaran, kedua teman ini berkumpul pada tujuan sama. Memberantas korupsi ikan pada proses pengiriman. Bahwa amanah dari Puang Juragan harus dilaksanakan dengan baik. Tiada kata menyerah apalagi mengeluh. Termasuk risiko yang akan diterima.
Karena mobilnya lagi-lagi mogok, mereka berupaya mengikuti jejak temannya yang akan bertransaksi dengan penadah di tengah jalan. Dengan cara lucu dan kocak, Ambo Nai dan Malla yang menggemaskan penonton itu menyelamatkan ikan lalu menggendongnya mengendarai motor dan mengantarkan ke tempat tujuan di Makassar. Panti asuhan adalah akhir petualangan. Keduanya disambut sama pemimpin panti dan anak-anak dengan riang gembira. Juga tersuguhkan makanan lezat.
Pada proses menjalankan amanah. Kemiskinan acapkali tiada mendapat ruang untuk dipercaya seperti ketika membeli minyak atau bensin. Juga karena memang sulitnya menemukan orang yang amanah. Yang dilakukan Ambo Nai mengambil minyak atau bensin dengan caranya sendiri adalah risiko. Dan bagaimana Malla dengan lugunya mengembalikan jirigen.
Keduanya kehilangan pekerjaan pada akhirnya. Kepasrahan pada keduanya menerima takdir.
Namun, kebaikan tetaplah cahaya. Ada cara Yang Kuasa mengungkapnya. Alhasil kedua sahabat itu dipanggil kembali bekerja oleh sang bos Puang Juragan ikan.
Ambo Nai dan Malla di tengah keterbatasan yang dimiliki, mengajarkan kita untuk tetap menegakkan siri’. Siri’ atau malu. Siri’ jika sahabatnya tidak bekerja. Natongkokan siri’na Malla- menutup malu.
Siri’ ketika diintimadasi
Siri’ ketika dihina
Siri’ ketika diajak kolaborasi dalam kejahatan
Siri’ untuk khianat pada pemberi amanah.
Siri’ jika gagal dalam menjalankan amanah.
Siri’ adalah benteng harga diri manusia Bugis Makassar.
Menegakkan siri’ adalah menegakkan kehormatan diri, sahabat, keluarga. Termasuk kehormatan agama, bangsa dan negara.
Mari nonton Ambo Nai Supir Andalan. Tutur bahasa Bugis, lucu, menggemaskan dan sarat pesan kearifan lokal. Film ini adalah bagian dari upaya lestari bahasa Bugis, salah satu bahasa besar di Indonesia. Di tengah banyak bahasa daerah yang punah dan terancam punah, siapa lagi yang akan menjaga kearikan lokal kita, kalau bukan kita sendiri.
Tabe’ ramaikan bioskop di seluruh Indonesia!
Bagi penggiat insan film, ditunggu kreatifitas selanjutnya.
Jumrana Salikki, Wakil Ketua Umum BPP KKSS (Departemen Seni Budaya & Humas) dan Ketua Umum DPP Kerukunan Masyarakat Bulukumba.