JAKARTA, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Menyambut Hari Kebebasan Pers Sedunia, UNESCO menyerukan kesadaran akan pentingnya kebebasan pers dan mengingatkan pemerintah untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak atas kebebasan berekspresi. Pada 3 Mei seluruh insan jurnalistik di seluruh dunia memperingati World Press Freedom Day atau Hari Kebebasan Pers Sedunia.
Peringatan akan kebebasan pers ini dideklarasikan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 1993 silam. Penetapan Hari Kebebasan Pers Sedunia ini diadakan, untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya kebebasan pers dan mengingatkan pemerintah untuk menghormati dan menjunjung tinggi hak atas kebebasan berekspresi.
Ini sesuai dengan Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia 1948. Selain itu, Hari Kebebasan Pers Sedunia juga untuk menandai peringatan Deklarasi Windhoek, yang berisi mengenai prinsip-prinsip pers bebas yang disusun oleh wartawan surat kabar Afrika di Windhoek, Namibia pada 1991.
Sejarah Hari Kebebasan Pers Sedunia Hari Kebebasan Pers Sedunia dideklarasikan oleh Majelis Umum PBB pada Desember 1993, mengikuti rekomendasi badan PBB untuk pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan atau United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO).
Rekomendasi ini didasarkan atas konferensi yang diselenggarakan UNESCO bertema “Mempromosikan Pers Afrika yang Independen dan Pluralistik”, yang diadakan di Windhoek, Namibia pada 29 April hingga 3 Mei 1991. Konferensi ini menghasilkan Deklarasi Windhoek, yang menjadi dokumen yang sangat berpengaruh. Dokumen ini dipandang sebagai yang pertama dari serangkaian deklarasi sejnis di seluruh dunia, dan sebagai penegasan penting dari komitmen komunitas internasional terhadap kebebasan pers. Setelah Deklarasi Windhoek, beberapa dokumen serupa muncul, seperti Deklarasi Alma-Ata untuk Asia Tengah, Deklarasi Sana'a untuk Timur Tengah, serta Deklarasi Santiago untuk Amerika Latin dan Karibia.
Perspektif yang dibangun dari Konferensi Windhoek terus menyiratkan peran penting bagi pemerintah, tetapi dalam parameter tegas mengenai kebebasan, pluralisme, dan kemandirian. Negara harus proaktif dalam melindungi jurnalis dan memajukan peluang bagi warga negara untuk menjalankan kebebasan berekspresi. Selain itu, negara harus menghindari pengendalian media, dan menghindari monopoli negara atas media. Lebih lanjut, pandangan Deklarasi Windhoek tentang pluralisme menunjuk pada negara yang memastikan dukungan hukum dan praktis dari sektor-sektor seperti layanan publik dan media komunitas. Ini terlihat dari tiga poin pertama dalam Deklarasi Windhoek 1991, yang menyebutkan: Konsisten dengan pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, pembentukan, pemeliharaan dan pembinaan pers yang independen, pluralistik dan bebas adalah penting untuk pengembangan dan pemeliharaan demokrasi dalam suatu bangsa, dan untuk pembangunan ekonomi.
Yang dimaksud dengan pers independen adalah pers yang lepas dari kontrol pemerintah, politik atau ekonomi, atau dari kontrol bahan dan infrastruktur penting untuk produksi dan penyebaran surat kabar, majalah, dan majalah. Pers yang pluralistik berarti berakhirnya segala bentuk monopoli dan mendorong keberadaan sebanyak mungkin surat kabar, majalah, dan terbitan berkala yang mencerminkan jangkauan informasi dan pendapat seluas mungkin kepada masyarakat.
Hari Kebebasan Pers Sedunia yang jatuh pada 3 Mei berfungsi sebagai pengingat bagi pemerintah, tentang perlunya menghormati komitmen terhadap kebebasan pers. Ini juga merupakan hari refleksi di kalangan profesional media tentang masalah kebebasan pers dan etika profesional. Selain itu, Hari Kebebasan Pers Sedunia juga dimaksudkan untuk beberapa hal, antara lain: Merayakan prinsip-prinsip dasar kebebasan pers. Menilai keadaan kebebasan pers di seluruh dunia. Membela media dari serangan terhadap independensi mereka. Memberikan penghormatan kepada para jurnalis yang telah kehilangan nyawa ketika menjalankan tugas.
Tema Hari Kebebasan Pers Sedunia Pada peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia tahun ini, UNESCO mengusung tema "Jurnalisme di Bawah Kepungan Digital".
Tema ini menyoroti berbagai hal di mana jurnalisme terancam oleh pengawasan, dan serangan yang dimediasi secara digital terhadap jurnalis, serta konsekuensi dari serangan-serangan ini pada kepercayaan publik terhadap komunikasi digital. Melalui laporan berjudul “Threats that Silence: Trends in the Safety of Journalists”, UNESCO menyoroti bagaimana pengawasan dan peretasan membahayakan jurnalisme. Pengawasan dapat mengekspos informasi yang dikumpulkan oleh jurnalis termasuk dari pelapor, dan melanggar prinsip perlindungan sumber, yang secara universal dianggap sebagai prasyarat untuk kebebasan media dan diabadikan dalam Resolusi PBB. Pengawasan juga dapat membahayakan keselamatan jurnalis dengan mengungkapkan informasi pribadi yang sensitif, yang dapat digunakan untuk pelecehan atau serangan pengadilan yang sewenang-wenang. Pada 2-5 Mei 2022, UNESCO menyelenggarakan Konferensi Global Hari Kebebasan Pers Sedunia dalam format hibrida (offline dan online) di Punta Del Este, Uruguay.
Di bawah tema “Jurnalisme di Bawah Kepungan Digital,” dampak era digital terhadap kebebasan berekspresi, keselamatan jurnalis, akses informasi, dan privasi akan dibahas. Konferensi ini akan menyatukan kembali pembuat kebijakan, jurnalis, perwakilan media, aktivis, pembuat kebijakan yang relevan di perusahaan internet, manajer keamanan siber, peneliti AI, dan pakar hukum dari seluruh dunia, untuk mengeksplorasi dampak era digital terhadap kebebasan berekspresi dan keselamatan jurnalis, kelangsungan hidup media dan kepercayaan publik. ***