BULUKUMBA, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Infak Jemaah Calon Haji (JCH) Bulukumba yang disalurkan melalui Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) menuai sorotan. Pasalnya, infak yang ditetapkan sebesar Rp 1 juta per jemaah dinilai terlalu besar dan memberatkan calon jemaah.
Melalui surat terbuka, salah seorang JCH Bulukumba, Ahmad Saleh mempertanyakan pungutan yang dia nilai mirip dengan pungutan liar (pungli). Apalagi kebijakan itu dikeluarkan tanpa ada sosialisasi sebelumnya.
"Apa hukumnya infak itu menurut pandangan Islam? Kalau infaq itu tidak wajib, kenapa dipatok Rp 1 juta per orang? Apakah ada Perda (Peraturan Daerah, red) yang dijadikan dasar untuk melakukan pungutan. Kenapa tidak ada sosialisasi terlebih dahulu, kepada jamaah calon haji sebagai objek pungutan ," tulis Ahmad Saleh dalam surat terbukanya.
Menurut Ahmad Saleh, Baznas Bulukumba dibentuk berdasarkan regulasi yang sangat jelas. Seharusnya dalam melaksanakan tugas juga harus mengacu pada aturan mekanisme dan tata kerja yang jelas pula.
Sehingga katanya, sebagai lembaga yang mewakili negara seharusnya hadir membantu dan meringankan beban umat, bukan justru menambah beban.
"Kepada semua pihak, dimohon supaya jemaah calon haji tidak dijadikan objek pungutan ilegal," ketusnya.
Menanggapi hal ini, Ketua Baznas Bulukumba, Kamaruddin menjelaskan, penarikan infak dari jemaah haji ini merupakan kebijakan yang berlaku untuk semua kabupaten. Namun diakuinya dengan nilai infak yang beragam.
Kebijakan tersebut merupakan hasil keputusan bersama Baznas seluruh kabupaten/kota di Sulsel yang menetapkan infak haji sebesar Rp 1 juta per calon jemaah haji sejak 2019 lalu.
"Cuma kan 2020 haji tidak ada, jadi baru diterapkan pada 2022 ini," jelasnya.
Selain itu, Kamaruddin membeberkan, infak haji ini bukan suatu yang baru khususnya di Kabupaten Bulukumba. Bahkan menurutnya kebijakan ini telah diberlakukan sejak era pemerintahan bupati, Andi Patabai Pabokori.
"Cuma terus naik. Dulu Rp 200 ribu di masa Pak Patabai, sekarang Rp 1 juta," imbuhnya. (*)