Panja Komisi X DPR RI Uji Publik RUU Pendidikan dan Layanan Psikologi

  • Bagikan
Dr Murdiana (Wakil Ketua IPK Sulsel ) berpose bersama tim dari Komisi X DPR RI.

JAKARTA, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Panitia Kerja Komisi X DPR RI dalam rangka penyusunan RUU tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi melakukan Uji Publik,  Sabtu 27 Mei 2022  di Ruang Rapat Senat Akademik Lantai 2 Gedung Rektorat Unhas. IPK Wilayah Sulsel diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan terkait dengan Draf RUU Pendidikan dan Layanan Psikologi pada kegiatan tersebut. Tanggapan dari IPK Sulsel disampaikan secara langsung oleh Wakil Ketua DR. Sitti Murdiana, M,Psi., Psikolog dan dituangkan dalam bentuk tulisan yang kemudian diserahkan langsung kepada Ketua Tim Panja Komisi X DPR RI.

JAKARTA, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Panitia Kerja Komisi X DPR RI dalam rangka penyusunan RUU tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi melakukan Uji Publik,  Jumat 27 Mei 2022  di Ruang Rapat Senat Akademik Lantai 2 Gedung Rektorat. IPK Wilayah Sulsel diberikan kesempatan untuk memberikan tanggapan terkait dengan Draf RUU Pendidikan dan Layanan Psikologi pada kegiatan tersebut. Tanggapan dari IPK Sulsel disampaikan secara langsung oleh Wakil Ketua DR. Sitti Murdiana, M,Psi., Psikolog dan dituangkan dalam bentuk tulisan yang kemudian diserahkan langsung kepada Ketua Tim Panja Komisi X DPR RI.

Kepada RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID, Dr Murdiana menyampaikan poin-poin penting tanggapan dari IPK Sulsel. “Iya kami sudah memberikan tanggapan dan pandangan terhadap substansi RUU tentang praktik psikologi, utamanya mengenai substansi pendidikan psikologi, layanan psikologi, dan profesi psikologi,” ujar Murdiana.

Dijelaskan, Pendidikan Psikolog Klinis sebagai Tenaga Kesehatan mengacu kepada UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang selaras dengan Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), yang menempatkan Psikolog Klinis pada level 8 (level ahli). Dengan demikian, pendidikan profesi Psikolog Klinis perlu diselaraskan dengan pendidikan profesi tenaga kesehatan lainnya.

Sementara Layanan Psikologi; Sebagai tenaga kesehatan, Tenaga Psikologi Klinis memiliki tugas dan wewenang yang telah diatur secara rinci dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 45 tahun 2017 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Psikolog Klinis sebagai Peraturan turunan dari UU No 36 tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan. Standar layanan psikologi klinis sebaiknya dikecualikan karena mengikuti peraturan perundangan kesehatan.

Untuk Organisasi profesi Psikologi, dalam Draft RUU PLP terdapat istilah induk organisasi profesi yang merupakan istilah di luar kelaziman dan tidak ada dalam terminologi. Pengaturan terkait profesi seharusnya diatur oleh organisasi profesi yang memiliki satu profesi sejenis (homogen) bukan heterogen atau berupa induk organisasi profesi yang terdiri dari berbagai organisasi profesi.

Dan tentang Psikolog Klinis memiliki satu organisasi profesi yang homogen yaitu IPK Indonesia. “IPK Indonesia berada di bawah binaan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, yaitu Direktorat Kesehatan Jiwa di bawah Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat. IPK Indonesia secara tegas dan konsisten menolak berada di bawah Himpunan, Organisasi Masyarakat (Ormas), maupun Organisasi Profesi lainnya untuk menghindari potensi terjadinya konflik kepentingan, kebingungan, dan ketidakpastian hukum dalam praktik layanan psikologi klinis di masyarakat,” jelas Murdiana.

Adapun substansi lain yang urgen dan perlu dimasukan dalam pengaturan RUU tentang Praktik Psikologi adalah pengecualian Psikolog Klinis tidak hanya dalam penerbitan STR dan SIP tetapi juga terkait pendidikan, standar layanan yang mengikuti ketentuan peraturan perundangan kesehatan.

Ditanya soal apa pandangan dan masukan serta tanggapan mengenai pembinaan dan pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap organisasi profesi? Menurut Murdiana, secara teknis seharusnya ada kementerian pembina yang mengawasi organisasi profesi, seperti halnya IPK Indonesia sebagai organisasi profesi psikolog klinis dibawah pembinaan Kementerian Kesehatan.

Secara umum IPK Sulsel memberikan pandangan dan masukan serta tanggapan terhadap peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan Pendidikan dan layanan psikologi.

“Draft RUU PLP Pasal 1 terkait pendidikan profesi sebaiknya disesuaikan dengan UU No. 12 Tahun 2011 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yaitu pendidikan profesi diselenggarakan oleh perguruan tinggi bekerja sama dengan kementerian, LPNK (Lembaga Pemerintah Non Departemen) dan/ atau organisasi profesi yang bertanggung jawab atas mutu layanan profesi. Dengan demikian TIDAK DIKUNCI hanya dengan organisasi profesi saja, tetapi diperluas,” tegasnya.

Apakah dalam RUU tentang Pendidikan dan Layanan Psikologi memerlukan sanksi? Jika memerlukan, apa sanksi yang tepat?

Sanksi dalam undang-undang seharusnya hanya terkait dengan STR dan Izin Praktik Psikologi.  Dalam draft ini kewajiban psikolog dituliskan dan turut diberikan sanksi, hal ini tumpang tindih dengan kode etik dan sanksinya. (rls)

  • Bagikan