Oleh: Tomi Lebang Pernah ada masa, hampir setiap hari saya datang ke sebuah kantor pengacara di Jl. Andi Mappanyukki di kota Makassar. Kantor pengacara Andi Rudiyanto Asapa. Saat itu saya masih mahasiswa dan memulai karir sebagai wartawan. Dan di kantor ini saya mendapatkan banyak hal: informasi bawah tanah, narasumber, tumpangan meja untuk mengetik berita, juga pemandangan indah saat curi-curi pandang ke sekretaris kantor yang cantik . Sahibul kantor -- saya memanggilnya Kak Rudy -- adalah orang baik. Dan lengkap. Ia seorang advokat, aktivis LSM, Direktur LBH Makassar, dan punya jaringan perkawanan dan informasi sampai ke Jakarta. Ia berkawan baik dengan banyak tokoh seperti mendiang Adnan Buyung Nasution, Hendardi, dll. Dan ia narasumber yang mudah ditemui, komentar-komentarnya layak kutip dan berani, dan tentu saja karena sikapnya yang ramah kepada setiap orang. Saya ingat ruangan kerja Kak Rudy yang sederhana, hanya ada meja kerja kecil, sebuah sofa tua dan seperangkat komputer di sudutnya. Yang khas dari ruangan ini adalah seluruh dindingnya berlapiskan anyaman rotan. Mungkin semacam pernyataan bahwa pemilik ruangan ini adalah pengacara rakyat. Di tengah dinding, terpajang foto berbingkai kayu dengan pose epik: foto Kak Rudy tengah berorasi di panggung demonstrasi di Lapangan Karebosi, di depan lautan massa mahasiswa yang menuntut Presiden Soeharto mundur. Suasana kantor dengan pintu yang terbuka lebar, tanpa pagar, ruangan sang pengacara yang berlapiskan anyaman rotan, membuat Kak Rudy didatangi banyak orang selain para klien. Di sinilah saya bertemu para wartawan kota Makassar, mahasiswa, aktivis, juga para pengacara. Waktu Kak Rudy sehari-hari pun terbagi antara mambaca berkas-berkas hukum dan menerima klien, dengan pertemuan dengan tetamu dari aneka latar belakang itu. Hubungan saya dengan Kak Rudy pun bukan lagi wartawan dan narasumber. Saya kerap ke rumahnya di Kompleks Hartaco, mengenal istrinya yang dokter, dan akrab dengan dua anaknya Deby dan Helmi. Saya kerap menemaninya berpergian di mobil Suzuki Baleno merahnya, sampai ke daerah. Dan itu berlangsung sampai menjelang saya meninggalkan Makassar di akhir Maret 2000. Belakangan Kak Rudy memasuki dunia politik. Pada tahun 2003, ia terpilih menjadi Bupati Sinjai, Sulawesi Selatan. Ia menjabat bupati selama 10 tahun. Selama menjadi pejabat itu saya tak pernah lagi bertemu dengannya. Meski, di ingatan saya, ia tetap Kak Rudy yang sehari-hari berkantor di ruangan dengan dinding berlapiskan anyaman rotan di Jl. Mappanyukki, Makassar. Begitulah. Waktu berlalu. Disisakannya hanya kenangan-kenangan yang membekas. Yang indah-indah. Kenangan masa-masa setiap hari ke kantor Kak Rudy itulah yang kembali berputar, ketika saya mendengar kabar duka: Andi Rudiyanto Asapa, berpulang ke Rahmatullah hari ini di sebuah rumah sakit di kota Makkah, Arab Saudi. Ia tengah menunaikan ibadah umroh di kota suci itu ketika ajal datang menjemputnya. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun. Selamat jalan dan damailah di Sana, Kak Rudy. Saya akan selalu mengingat semua kebaikanmu. *** |