BULUKUMBA, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID – Konflik dan beda pendapat antara Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Bulukumba dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bulukumba yang semakin tajam mendapat perhatian sejumlah pengamat. Jika dibiarkan berlarut-larut, situasi ini hanya akan merugikan masyarakat.
Saling serang argumen baik antara eksekutif dengan legislatif melalui media belakangan ini mewarnai publik Kabupaten Bulukumba.
Hal itu dilatarbelakangi atas perbedaan pandangan soal pengelolaan anggaran daerah. Pemda Bulukumba menginginkan agar semua proyek pembangunan dikerjakan melalui mekanisme tender termasuk pokok pikiran (Pokir) DPRD yang anggarannya akan dikonsolidasikan.
Rencana itu kemudian ditolak oleh DPRD Bulukumba, yang tetap menginginkan pola lama yakni proyek yang diusulkan melalui Pokir tidak semuanya harus dikonsolidasikan atau tetap dikerjakan melalui sistem penunjukan langsung (PL).
Persoalan tersebutlah yang dianggap menjadi latar belakang kisruh antara eksekutif dan legislatif hingga melebar ke banyak hal lain. Namun yang menjadi persolan, jika konflik ini terus dipelihara, maka sangat merugikan kepentingan masyarakat.
Menurut Dekan FDK UIN Alauddin Makassar, Firdaus Muhammad, bahwa perbedaan pendapat antara eksekutif dan legislatif itu hal lumrah. Namun jika perbedaan itu menimbulkan kisruh yang berkepanjangan maka akan merugikan masyarakat.
"Saling ego antar dua unsur yakni eksekutif dengan legislatif ini jelas akan menghambat moda pemerintahan, dan yang dirugikan adalah masyarakat. Apalagi kan kisruh ini juga bisa berdampak pada tidak berjalannya serapan anggaran," terangnya saat dikonfirmasi, Minggu, 31 Juli 2022.
Pakar komunikasi politik itu menjelaskan, untuk menyudahi kisruh, eksekutif dan legislatif harus memahami fungsi dan peranannya masing-masing.
"Kalau sudah memahami dan menempatkan sesuai dengan fungsinya masing-masing, harus ada komunikasi politik yang terbangun bertemu untuk mendudukkan permasalahan dan mencari jalan keluar," katanya.
Firdaus menekankan bahwa masing-masing pihak harus saling menghargai dan saling legowo satu sama lain serta mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan masing-masing.
"Jadi ini memang dibutuhkan sikap kedewasaan dalam berpolitik. Pemerintah tidak bisa berjalan tanpa legislatif, begitu pula legislatif juga tidak boleh arogan dalam menekan pemerintah," Firdaus menyarankan.
Firdaus juga menyoroti peran aktivis, media, serta organisasi non pemerintah (NGO). Menurutnya di sini seharusnya unsur-unsur tersebut mengambil peran sebagai mediator bukan malah semakin memperkeruh suasana.
Sebelumnya, salah satu pertentangan antara eksekutif dengan legislatif itu persoalan pembahasan Ranperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2021.
DPRD Bulukumba menganggap Pemda lambat menyerahkan dokumen Ranperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2021 sehingga gagal untuk dibahas.
DPRD Bulukumba juga telah melaksanakan beberapa kali rapat Badan Musyawarah (Bamus) untuk menyusun jadwal pembahasan. Namun tidak pernah menghasilkan keputusan terkait jadwal pembahasan Ranperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2021.
Namun hal itu dibantah oleh pihak Pemda Bulukumba. Kabid Humas Diskominfo Bulukumba, Andi Ayatullah, bahwa tanda terima penyerahan dokumen ranperda tersebut ditandatangani oleh Sekretaris DPRD pertanggal 30 Juni, dari surat pengantar yang ditandatangani Bupati per 29 Juni yang ditujukan ke Ketua DPRD.
“Pertanyaannya apakah 30 Juni itu sudah melewati batas waktu yang diatur dalam regulasi bahwa penyerahan paling lambat 6 bulan setelah anggaran berakhir?," ujarnya.
Lebih lanjut, dikatakan dari tanggal penyerahan itu, masih ada tersisa satu bulan untuk dibahas bersama DPRD. Namun pihak DPRD melalui rapat Bamus selalu gagal menentukan jadwal dengan alasan tidak jelas. (ewa)