BULUKUMBA, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Sejak pagi hari puluhan petani telah bersua di Lapangan Desa Salassae, Kecamatan Bulukumpa, Kabupaten Bulukumba, Sabtu, 24 September 2022.
Suasana tidak kalah antusias layaknya lebaran. Semakin lama petani yang datang semakin banyak. Jumlahnya ratusan. Ya, para petani dan aktivis tani berkumpul dan masing-masing membawa produk hasil pertaniannya di momen Hari Tani Nasional.
Hari itu, 24 September 2022, adalah perayaan Hari Tani Nasional (HTN), sebagai momentum untuk mengenang perjuangan kaum petani dalam memperjuangkan kedaulatan petani Indonesia.
Petani serta aktivis Desa Salassae yang tergabung dalam Komunitas Swabina Pedesaan Salassae menyadari betul pentingnya mengenang jasa para pejuang tani.
Tidak dengan turun menggelar demonstrasi di jalan raya, namun mereka bersolidaritas dengan menggelar semacam kegiatan festival petani yang berpusat di lapangan Desa Salassae.
Mulai dari pameran produk pertanian, karnaval tani, orasi, panggung seni, penanaman pohon, dan sebagainya, mewarnai kemeriahan Hari Tani Nasional di bawah langit Desa Salassae.
Salah satu hal yang menarik, dalam kegiatan tersebut memperkenalkan konsep kegiatan tanpa sampah plastik. Pada umumnya sebuah kegiatan biasanya menggunakan air minum kemasan, namun pada kegiatan ini, nyaris tidak ditemukan sampah plastik.
Panitia menyiapkan gelas dan setiap tamu yang mau minum mengambil sendiri air di wadah yang disiapkan. Sehingga penggunaan plastik sekali pakai yang selama ini selalu menimbulkan sampah dapat terminimalisir di kegiatan tersebut.
"Hari ini (Hari Tani Nasional, red) kami mengangkat tema 'Perkuat Tani, Perhebat Aksi Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim'. Sebagai keprihatinan kami terhadap ancaman kerusakan lingkungan," kata Iwan Salassa sebagai salah satu aktivis Tani Salassae yang turut menggagas kegiatan tersebut.
Iwan mengklaim bahwa kegiatan tersebut merupakan peringatan Hari Tani Nasional yang pertama kalinya digelar dan digagas oleh masyarakat di tingkat desa yang ada di Kabupaten Bulukumba.
Olehnya Iwan menganggap bahwa kegiatan tersebut sebagai bentuk kedaulatan dan kemandirian petani yang ada di Salassae.
"Kegiatan ini tujuannya untuk mengajak petani agar berorganisasi. Karena jika petani sadar akan pentingnya organisasi maka kedaulatan petani akan terwujud," ujarnya.
Selain itu, kegiatan tersebut juga digelar untuk mengampanyekan situasi perubahan iklim. Menurut Iwan, hari ini cuaca yang tidak menentu, debit air di sungai yang semakin berkurang, dan masalah lingkungan lainnya merupakan dampak perubahan iklim.
Sehingga untuk dapat melanjutkan ritme pertanian, maka petani harus beradaptasi dengan perubahan iklim tersebut. Misalnya dengan memulai pertanian organik, pemanfaatan lahan untuk agroforestri, pertanian terintegrasi dan berkelanjutan, dan lain-lain.
Menurut Iwan petani mesti dibekali dengan pengetahuan yang maju utamanya soal lingkungan. Olehnya dalam kegiatan itu juga melibatkan NGO lingkungan seperti Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi).
Selain itu, kegiatan tersebut juga didukung oleh Pemerintah Desa (Pemdes) Salassae dan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bulukumba. Serta turut tergabung lembaga Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI), serta ormas Brigade 98.
Dalam kepesertaan, kegiatan tersebut tidak hanya melibatkan petani di Desa Salassae, namun juga petani dari beberapa desa lain di Kabupaten Bulukumba.
Diketahui, setiap 24 September diperingati sebagai Hari Tani Nasional. Hari, merupakan bentuk peringatan dalam mengenang perjuangan kaum petani serta memilikinya dari penderitaan. Oleh sebab itu, penetapan Hari Tani ini diambil dari tanggal dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) pada tahun 1960.
Semenjak bebas dari cengkraman Belanda, pemerintah Indonesia selalu berusaha merumuskan UU Agraria baru untuk mengganti UU Agraria kolonial. Pada tahun 1948, penyelenggara negara membentuk panitia agraria Yogya, yang pada saat itu Ibu kota Republik Indonesia (RI) berkedudukan di Yogyakarta.
Namun dikarenakan gejolak politik, usaha tersebut pun kandas. Pada 27 Desember 1949 diadakan Konferensi Meja Bundar (KMB) dan persetujuan antara Republik Indonesia dengan Belanda, atas pengakuan kepemilikan politik Negara Indonesia, setelah itu ibukota RI kembali ke Jakarta.
Selanjutnya, pada 1951, dibentuklah panitia Agraria Yogya di Jakarta dengan nama Panitia Agraria Jakarta. Namun dalam perkembangannya, berbagai panitia yang telah terbentuk, gagal dan tersendat-sendat. Lalu pada tahun 1955, panitia Agraria Jakarta yang sempat mandeg oleh Panitia Soewahjo.
Pada tahun berikutnya, dibentuklah panitia lainnya, seperti Panitia Negara Urusan Agraria (1956), Rancangan Soenarjo (1958) dan Rancangan Sadjarwo (1960).
Dari berbagai panitia dan rancangan tersebut, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), yang kala itu dipimpin Haji Zainul Arifin menerimanya dan melahirkan UUPA.
Pada sidang DPR-GR 12 September 1960, Menteri Agraria saat itu, Mr Sardjarwo dalam pidato pengantarnya mengatakan perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia melepaskan diri dari cengkeraman, pengaruh, dan sisa penjajahan, khususnya perjuangan rakyat tani untuk mendapatkan diri dari kekangan ke sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing.
Kemudian, pada 24 September 1960, RUU tersebut disetujui DPR sebagai UU No 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, atau dikenal dengan Undang-Undang Pembaruan Agraria (UUPA).
Prinsip UUPA ialah menempatkan tanah untuk kesejahteraan rakyat. UUPA hak memiliki tanah, kesempatan sama bagi setiap warga negara untuk memperoleh hak atas tanah, pengakuan hukum adat, serta warga negara asing tak punya hak milik. Tanggal 24 September inilah yang menjadi tanggal ditetapkannya UUPA. (baso marewa)
Foto: Perayaan HTN di Desa Salassae