Oleh dr Bambang Budiono
BARU-BARU ini beredar video pendek terkait pernyataan beberapa anggota Komisi IX DPR-RI yang mengatakan bahwa pasien tidak boleh dipulangkan sebelum sembuh.
Pernyataan tersebut tentu perlu diklarifikasi karena berpotensi menimbulkan konflik antara pasien dengan dokter atau rumah sakit akibat perbedaan persepsi. Apalagi sudah ada yang memberi label ‘curang’ pada Rumah Sakit yang memulangkan pasien sebelum ‘sembuh’.
Menurut kamus Bahasa Indonesia sembuh adalah menjadi sehat kembali, atau kembali ke posisi sebelum sakit. Pemahaman ini tentu menjadi membingungkan ketika karena suatu penyakit tertentu berakibat pada gangguan yang bersifat permanen, artinya tak akan pernah pulih seperti sedia kala.
Misalnya pasien yang mengalami serangan strok dan terjadi kerusakan otak luas, bisa terjadi kelumpuhan permanen, gangguan fungsi luhur, atau gangguan bicara. Artinya pasien tak akan pernah mencapai derajat kesembuhan.
Pasien yang mengalami serangan jantung dan terjadi kerusakan otot jantung luas akan mengalami gangguan penurunan fungsi pompa jantung dan berdampak pada penurunan kualitas hidup secara permanen. Batasan sembuh dari satu penyakit bisa berbeda dari penyakit lain.
Hipertensi dan diabetes misalnya, juga contoh penyakit yang tak akan pernah sembuh. Yang bisa dilakukan adalah membuat menjadi terkontrol atau terkendali dengan pemberian obat.
Seorang pasien bisa saja dirawat akibat lonjakan tekanan darah yang amat tinggi disertai gangguan fungsi organ, disebut sebagai “hipertensi emergensi”, tentu perlu dirawat untuk distabilkan tekanan darahnya.
Ketika tekanan darah terkontrol dan gangguan fungsi organ dapat teratasi, bukan berarti ia sembuh. Penyakit hipertensinya akan tetap menyertainya sepanjang masa, tetapi saat itu tidak lagi memerlukan perawatan di Rumah Sakit. Ia hanya memerlukan perawatan rutin untuk mengendalikan tekanan darah di poliklinik.
Pasien yang dirawat karena koma hiperglikemia akibat lonjakan gula darah yang amat tinggi, ketika masalahnya telah teratasi tentu bisa dilakukan perawatan lanjut di poliklinik untuk terapi rumatan, tetapi juga tak bisa dikatakan sudah sembuh.
Jadi yang perlu ditetapkan adalah kriteria berdasar indikasi medis, mana pasien yang masih memerlukan pengawasan ketat di rumah sakit, mana yang sudah bisa rawat jalan.
Tentu saja setiap penyakit memiliki ‘clinical pathway’ sendiri dan masing masing dokter penanggung jawab pasien lah yang menentukan apakah pasien masih memerlukan perawatan di rumah sakit atau tidak. Ada kondisi tertentu yang membuat perawatan berlangsung seumur hidup, sehingga setelah kondisi stabil dilanjutkan dengan perawatan di rumah pasien (home care).
Apakah ada Rumah Sakit yang memulangkan pasien sebelum stabil kondisi stabil atau layak untuk dilanjutkan dengan perawatan di poliklinik atau di rumah ? Tidak bisa dipungkiri kasus seperti itu tentu bisa dijumpai.
Dengan peraturan perundangan yang ada, Rumah Sakit bisa diberi sanksi dari peringatan hingga pembatalan ijin operasional.
Anggota Dewan memiliki akses luas untuk menjadi sorotan media massa sehingga perlu bijak dalam pemilihan diksi yang bisa menimbulkan konflik antara pasien dengan dokter atau rumah sakit.
Daripada memilih kata sembuh, sebaiknya digunakan istilah stabil secara klinis untuk rawat jalan. (rs)