Oleh Nurhidayah Mantong
Pemerhati Pendidikan, Tinggal di Pinrang
KEMERDEKAAN berpikir, berekspresi, berpendapat dan berserikat adalah hak asasi manusia (HAM), yang telah dimuat dalam Konstitusi Indonesia, pada amandemen ke IV UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28E ayat 2 dan 3 yang menerangkan bahwa “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”. Regulasi ini sejalan dengan tuntutan zaman sejak masa kolonial hingga saat ini, bahwa setiap orang memiliki hak untuk merdeka. Dasar yang paling kuat adalah pada Pembukaan UUD NRI 1945 aliena pertama bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan perikeadilan. Jenis dan bentuk penjajahan apa pun tidak dibenarkan, termasuk dalam hal yang terkait dengan pendidikan.
Olehnya itu, setiap aspek kehidupan yang berhubungan dengan manusia harus dapat mengakomodasi dan memberi ruang bagi upaya-upaya pemenuhan hak asasi manusia termasuk pemenuhan hak asasi peserta didik. Dalam dunia pendidikan, diperlukan sistem pendidikan yang dapat mendukung promosi dan pemenuhan HAM. Demikian juga pendidikan yang dikembangkan adalah pendidikan yang memerdekan atau membebaskan.
Sebelum konsep HAM dideklarasikan tahun 1948, sudah ada gagasan atau ide yang mendukung pelaksanaan HAM, yaitu pendidikan yang memerdekakan. Konsep yang lebih enak didengar ialah merdeka belajar. Pemikirnya seperti Ki Hajar Dewantara (Indonesia), Tagore Rabintdanath (India), Maria Montessori (Italia) dan Fredrik Frobel (Jerman). Para pemikir ini memahami jika belajar tanpa merdeka dalam berpikir akan menjadikan peserta didik dalam lingkaran hegemoni.
Peserta didik tidak bisa berkembang menjadi dirinya sendiri, mereka akan selalu bergantung pada siapa yang menghegemoni mereka dan pelakunya bisa jadi guru, orang tua, teman bahkan negara pun bisa sebagai pelaku hegemoni bagi pertumbuhan peserta didik, tentunya melalui kebijakan kurikulum. Jika kondisi ini tidak berubah maka secara turun-temurun tidak ada kemajuan dalam peradaban kemanusiaan.
Peserta didik yang tidak merdeka dalam belajar juga akan melakukan hal yang sama pada proses hidupnya di masa yang akan datang. Mereka bisa menjadi calon orang tua yang otoriter, memaksakan kehendak, atau calon pemimpin yang membatasi kebebasan rakyatnya dalam melaksanakan keyakinannya, melakukan ritual kebudayaannya, dan dalam berpolitik. Intinya peserta didik bisa jadi tidak beradab.
Menjadi negara yang maju selalu diukur dari perdabannya. Semakin maju suatu negara maka tingkat perdabannnya semakin tinggi. Oleh karena itu konsep merdeka belajar diyakini dapat membawa Indonesia menjadi negara maju, sebab dalam konsep merdeka belajar menjadikan peserta didik sebagai pusat, subjek pembelajar dan berpihak pada peserta didik. Peserta didik merdeka berpikir sesuai tingkat kemampuannya, tidak boleh diseragamkan di level intelektualnya, setiap anak memiliki karakter yang harus dipahami, memiliki upaya belajar yang harus dihargai. Jadi konsep merdeka belajar selalu sesuai dengan kebutuhan manusia, karena pada dasarnya merdeka adalah hak setiap orang.
Makna merdeka belajar menurut Ki Hajar Dewantara berarti merdeka atas diri sendiri. Minat dan bakat peserta didik itu harus merdeka untuk berkembang seluas mungkin. Sehingga pengajaran dan pendidikan akan berguna untuk kehidupan bersama jika memerdekakan manusia sebagai anggota persatuan (rakyat). Pada tataran inilah dimana peserta didik diberi kebebasan untuk belajar sesuai apa yang diminatinya. Minat peserta didik biasanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang oleh Ki Hajar Dewantara diistilahkan dengan kodrat alam.
Perkembangannya kemudian adalah bagaimana guru berperan menuntun kodrat alam peserta didik dengan mempertimbangkan kodrat zaman. Penuntun yang baik adalah yang menempatkan diri sebagai contoh atau teladan, sebagai motivator dan sebagai pemrakarsa ide. Artinya, peserta didik diberi kesempatan dan kebebasan memikirkan apa yang akan dia pelajari dan mengekspresikan pemikirannya tersebut dalam berbagai bentuk yang diminatinya.
Sekecil apapun pendapat peserta didik maka itu harus dipahami oleh guru sebagai nilai yang penting berdasarkan kemampuan individunya. Artinya kemampuan peserta didik tidak hanya pada aspek kognitif saja, tapi pada karakter yang dimilikinya. Ketika peserta didik berani berbicara, mengeskpresikan apa yang ada dipikirannya maka itu adalah bentuk kemerdekannya dalam belajar, peran guru menuntun agar mereka berekspersi dengan baik sesuai dengan laku dan norma yang di masyarakat.
Pola pikir proses pembelajaran yang telah lalu sebelum program merdeka belajar, masih berkutat pada pemahaman akan sulitnya mengubah cara pandang masyarakat yang memposisikan peserta didik dari yang berpusat pada guru menjadi yang berpusat pada peserta didik. Pengalaman yang dialami oleh guru, orang tua siswa dan masyarakat umun saat menjadi peserta didik dimana guru sebagai pusat pembelajaran cukup memberikan pengaruh pada perubahan cara pandang ini.
Karena itu, usaha yang terus dilakukan oleh pemerintah melalui program merdeka belajar harus didukung dengan peluang-peluang yang memudahkan implementasinya di sekolah. Mulai dari pemberdayaan guru, anggota komite, komunitas-komunitas profesi dan lembaga-lembaga swadaya masyarakat dan lembaga-lembaga pemerintah.
Sejatinya merdeka belajar adalah bagian dari pemenuhan hak asasi manusia, di mana Indonesia menjadi salah satu negara di dunia yang menjunjung tinggi HAM, yang diatur dalam konstitusi negara dan dipertegas di dalam Undang-Undang HAM (UU No. 39/1999) dan aturan-aturan terkait lainnya. Di samping itu sebagai anggota Perseritakan Bangsa-Bangsa, Indonesia juga telah meratifikasi sejumlah instrumen HAM. Karena itu, pemerintah dituntut untuk menciptakan regulasi yang memudahkan kolaborasi agar terwujud merdeka belajar yang dapat membawa peserta didik merdeka, mandiri, dan mencapai kebahagiaan yang setinggi-tingginya.***