MAKASSAR, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mendesak Kepolisian Resort Baubau, Provinsi Sulawesi Tenggara agar tidak memproses laporan pencemaran nama baik yang menargetkan dua narasumber berita yang mengungkap kasus kekerasan seksual dua anak perempuan di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara.
Menurut Ketua Umum AJI Indonesia Sasmito, melaporkan narasumber berita ke polisi adalah bentuk pembungkaman, mencederai kemerdekaan pers dan melanggar UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers. Ketentuan dalam UU Pers telah mengatur mekanisme sengketa pemberitaan yang seharusnya menggunakan hak jawab dan mengadu ke Dewan Pers.
Dua narasumber yang dilaporkan adalah S, seorang ibu yang kedua putrinya menjadi korban pemerkosaan, serta Safrin Salam dari Yayasan LBH Amanah Peduli Kemanusiaan. Dikutip dari Tribunnews Sultra, S dilaporkan oleh A ke Polres Baubau karena dianggap menyebarkan berita fitnah atau bohong melalui rilis pemberitaan. S dilaporkan dengan Pasal 310 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 27 Ayat 3 UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) jo. Pasal 45 UU 19/2016
Tak hanya melanggar UU Pers, melanjutkan proses hukum terhadap dua narasumber tersebut berarti mengabaikan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). Polisi seharusnya melindungi korban kekerasan seksual dan keluarganya yang terancam serta berfokus mengungkap tujuh terduga pelaku pemerkosaan, sesuai bukti-bukti yang diberikan oleh ibu korban dan pengacaranya tersebut. Penegakan hukum yang transparan dan berpihak pada korban menjadi mandat UU TPKS yang telah disahkan pada 12 April 2022.
"Korban yang mengungkapkan kasusnya ke media harus dilihat sebagai upaya untuk mencari keadilan karena penegakan hukum yang belum berpihak pada korban. Sudah seharusnya polisi tidak boleh melanjutkan upaya pemidanaan pencemaran nama baik tersebut dan harus berfokus untuk menjerat pelaku kekerasan seksual sebenarnya yang masih berkeliaran," kata Sasmito.
Serangan Digital Pada Project Multatuli
Selain itu, AJI Indonesia juga mengecam serangan digital terhadap portal berita Project Multatuli (PM) setelah menerbitkan berita tentang pemerkosaan tersebut yang berjudul “Dua Putri Saya Dicabuli, Saya Lapor ke Polres Baubau, Polisi Malah Tangkap Anak Sulung Saya” pada Sabtu, 11 Maret 2023.
Dalam berita itu, Project Multatuli menyoroti dugaan rekayasa polisi yang justru menetapkan kakak sulung korban sebagai “tersangka”. Kakak korban diduga dipaksa mengaku atas perbuatan yang tidak dia lakukan, dicurigai di bawah ancaman dan pukulan oleh para penyidik Polres Baubau, dalam proses interogasi tanpa pendampingan hukum, pada 28 Januari 2023.
Serangan ke website PM terpantau sejak Selasa, 14 Maret 2023 ini terdeteksi dari adanya kenaikan aktivitas kunjungan yang tidak wajar ke portal yang beroperasi sejak Mei 2021 lalu. Tim IT PM mendeteksi ada pihak yang melakukan scanning atau pemetaan celah yang cukup membebani server PM pada Selasa, 14 Maret 2023 sejak pukul 9 pagi.
Dugaan serangan menguat karena pada pukul 3 sore terdeteksi ada aksi Distributed Denial of Service (DDoS) di mana penyerang memanipulasi permintaan yang tidak diinginkan untuk menyerang server portal. Penyerangan ini menggunakan komputer atau bot yang sulit dibedakan dari lalu lintas normal di portal. Serangan-serangan ini bertujuan untuk mencari celah di website PM agar bisa diambil alih. Karena gagal, serangan berhenti sementara.
Pada Rabu, 15 Maret 2023, pukul 9 pagi terjadi lonjakan aktivitas dan permintaan akses yang juga membebani server. Peningkatan serangan ini berlangsung sampai pukul 9 malam. Akibatnya, beberapa pembaca mengeluh website Project M menjadi sangat lambat bahkan sampai tidak dapat dibuka.
Direktur Eksekutif PM, Evi Mariani menyatakan, laporan itu berbasis fakta. “Dari sumber-sumber terdekat peristiwa, mempercayai kesaksian korban dan keluarga korban, dengan didukung dokumen-dokumen primer dari proses penyelidikan dan penyidikan Polres Baubau, termasuk hasil visum kedua korban, yang kami simpan, yang sudah direview oleh tim legal kami,” tulisnya dalam siaran pers yang diterima AJI terkait artikel yang viral di media sosial ini.
Sebelumnya, PM pernah mengalami serangan siber berupa DDoS setelah menerbitkan laporan kekerasan seksual terhadap tiga anak di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, pada Oktober 2021.
Serangan digital seperti ini ini mengakibatkan terhalangnya publik untuk mengakses informasi berita yang disebarluaskan lewat portal PM. “Serangan berulang tersebut bertujuan membungkam media yang kritis dan termasuk tindak pidana seperti diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Pers karena menghambat atau menghalangi kerja-kerja jurnalistik,” kata Ketua Bidang Internet AJI Indonesia, Adi Marsiela. (rls)