MAKASSAR, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- -Bisa jadi inilah pileg terdinamis. Barisan penguasa daerah bersaing terbuka di 2024 mendatang. Pada Pileg 2024, semua kepala-wakil kepala daerah akan berstatus mantan. Saat ini memang masih menjabat. Selain mereka, banyak pula para mantan yang menegaskan akan maju ke Senayan.
Para kepala-wakil kepala daerah dan mantan kepala-wakil kepala daerah ini akan menjadi seteru hebat. Bisa dikatakan, mereka adalah barisan para penguasa daerah. Baik yang sementara, maupun yang telah menjabat, pasti memiliki basis konstituen di akar rumput.
Pada konteks inilah laga berat tersaji. Apalagi, ada yang bersaing tak hanya lintas kekuasaan, namun dalam satu daerah. Misalnya, eks kepala dan wakil sama-sama membidik Senayan.
Di daerah pemilihan (dapil) Sulsel 1 DPR RI, misalnya, ada Bupati Jeneponto Iksan Iskandar (Golkar), Wakil Bupati Jeneponto Paris Yasir, Bupati Bantaeng Ilham Azikin, Bupati Selayar Basli Ali, hingga Wakil Wali Kota Makassar Fatmawati Rusdi. Kemudian beberapa mantan kepala dan wakil kepala daerah juga meramaikan persaingan.
Di dapil Sulsel 2 pun demikian, seperti Wali Kota Parepare Taufan Pawe, Bupati Bone Andi Fahsar Mahdin Padjalangi, dan Bupati Barru Suardi Saleh. Plus eks Bupati Pangkep Syamsuddin Hamid dan eks Bupati Bulukumba Zainuddin Hasan.
Lalu di dapil Sulsel 3, misalnya, ada Bupati Enrekang Muslimin Bando, Wali Kota Palopo Judas Amir, Bupati Pinrang Irwan Hamid, dan Bupati Luwu Basmin Mattayang. Kemudian beberapa mantan bupati dan wakil bupati.
Bukan Jaminan
Perebutan kursi legislatif DPR RI telah menjadi “perang bintang eksekutif” atau pertarungan petahana dan mantan kepala daerah. Kecenderungan ini menarik karena pada saat yang sama, tidak banyak- atau bahkan belum ada, legislator yang berani running pada pilgub.
"Jadi arah pendulum politik melingkar dan memusat ke kekuasan legislatif," kata Andi Luhur Prianto, analis politik Universitas Muhammadiyah Makassar, Senin, 8 Mei.
Soal peluang keterpilihan, dominan mana petahana dan mantan kepala daerah, itu ditentukan banyak variabel. Tidak ada jaminan dengan status penguasa daerah, mereka dengan mudah melenggang ke Senayan.
Kegagalan mantan Syahrul Yasin Limpo (SYL), Gubernur Sulsel dua periode pada Pileg 2019 bisa menjadi lesson-learned yang berharga. Kemasyhuran nama dan legacy kepemimpinan saja tidak cukup dalam sistem pemilihan yang high-cost seperti sekarang.
Hanya saja mereka semua punya privilese yang berbeda dengan calon anggota legislatif lain. Mereka telah mengakses sumber daya kekuasaan atau anggaran publik, untuk membangun investasi sosial politik di masyarakat.
Kepala daerah pertahana bahkan punya akses lebih lebar lagi, karena mereka bisa mengintegrasikan program-program pemerintahan dengan agenda politik pribadi. Kalau yang sudah mantan, tinggal “memanen” hasil investasi sosial semasa berkuasa.
"Meskipun banyak yang juga 'gagal panen'," sambung Luhur yang juga dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unismuh Makassar itu.
Secara umum, barisan penguasa daerah ini akan habis masa jabatan sebelum Pileg 2024. Dengan demikian, aksi memobilisasi birokrasi tidak akan optimal lagi, terutama jika pejabat kepala daerah juga menjaga operasi politik yang berbeda.
Barisan penguasa daerah tak boleh jemawa. Mesti dipahami, pertarungan pilkada dan pileg adalah kontestasi yang berbeda. Konteks referensi pemilih dan saingannya berbeda. (rls)