BULUKUMBA, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Kabupaten Bulukumba dan sekitarnya adalah daerah penghasil tuna terbesar di Provinsi Sulawesi Selatan. Namun sayang, umumnya tangkapan tuna ini hanya bisa memenuhi pasar lokal di Indonesia. Padahal jika diekspor ke luar negeri seperti Jepang harganya bisa lebih tinggi dengan syarat kualitasnya harus grade A dan B.
Tidak memenuhinya syarat ekspor ikan tuna dan ikan lainnya ke luar negeri disebabkan kualitas setelah tangkapan nelayan yang pada umumnya hanya ada pada level grade C dan D.
Misalnya harga tuna grade A harganya 135 ribu per kilogram. Tapi karena selama ini kualitas hasil tangkapan hanya mampu di grade D dan C saja sehingga harganya paling tinggi hanya 45 ribuan per kilogram.
Perbedaan kualitas ikan ini menjadi persoalan yang dihadapi bagi para nelayan atau pengusaha ikan di Indonesia jika ingin mengekspor ikan. Ini pun menjadi topik pembahasan pada pertemuan Bupati Bulukumba Andi Muchtar Ali Yusuf di Jepang.
Dalam lawatannya ke negeri Sakura ini, Andi Utta sapaan akrab Bupati menghadiri presentasi alat teknologi baru pendingin ikan (flash freeze system) di kapal atau di pelabuhan. Andi Utta datang ke Jepang bersama koleganya dari Singapura, Mr. Calvin.
Dikatakan bahwa sebenarnya semua ikan yang ditangkap itu sudah berkualitas. Namun yang dibutuhkan adalah bagaimana mempertahankan kondisi kualitas ikan itu pasca proses penangkapan hingga sampai ke darat.
"Hanya 5 persen saja bisa diekspor dari semua tangkapan nelayan Indonesia karena kualitas yang tidak bisa dipertahankan setelah penangkapan," ungkap Andi Utta, Jumat 30 Juni 2023.
Nah dengan teknologi pendingin baru seperti ini, lanjutnya kadar organoleptik pada ikan bisa dipertahankan untuk memenuhi standar grade A atau B. Dengan teknologi itu, dapat membantu nelayan atau pengusaha ikan mempertahankan kondisi ikan untuk layak ekspor.
Lebih lanjut, teknologi pendingin ikan ini bisa digunakan di kapal besar maupun kapal kecil dengan menggunakan tenaga surya, begitu juga pendingin ini bisa ditempatkan di pelabuhan maupun pada proses pengiriman melalui peti kemas.
"Ini seharusnya difasilitasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan agar kapal kapal nelayan kita memiliki alat pendingin seperti ini. Begitu juga pihak perbankan seharusnya ada support kepada pengusaha perikanan di Indonesia," bebernya.
Menurutnya, keberpihakan perbankan kepada nelayan belum maksimal dalam mengembangkan usaha perikanan tangkap di Indonesia terutama untuk meningkatkan produksi untuk ekspor. Nelayan tidak didorong untuk memproduksi ikan kualitas ekspor yang mana harganya bisa lebih tinggi.
Bupati yang berlatar pengusaha ini, mencoba memberikan kalkulasi jika tangkapan tuna itu bisa diekspor. Dikatakan rata rata tangkapan tuna di Bulukumba dan Sinjai sekitar 50 ton perhari, sehingga dalam sebulan ada 1.500 ton. Jika total ini kalikan dengan harga paling rendah Rp80 ribu perkilogram maka ada sekitar Rp12 milyar perbulan yang berputar di usaha ikan tuna ini.
Harapan Andi Utta, peluang ekspor tuna ini seharusnya mudah dilakukan oleh para nelayan, jika didukung dengan teknologi alat pendingin.
"Kalau teknologi baru ini didorong oleh KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) bantu nelayan Indonesia dengan kapasitas 200 kilogram perkapal, maka luar biasa devisanya Indonesia dari sektor perikanan," gugahnya.
Andi Utta mengaku, selain menghadiri presentasi atau demonstrasi teknologi alat pendingin tersebut, pihaknya juga menjajaki kemudahan proses ekspor oleh nelayan atau pengusaha ikan jika teknologi itu digunakan di Indonesia. Menurutnya, peluang ekspor tuna di Jepang masih sangat besar sehingga pihak pengusaha di Jepang juga mau membantu dengan teknologi itu untuk memastikan kualitas ikan tuna tetap terjaga sampai ke Jepang.(rls)