JAKARTA, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Perubahan iklim sangat dirasakan dampaknya saat ini. Kejadian bencana iklim pun makin marak kita alami dan lihat di Indonesia. Sebut saja angin puting-beliung, hujan lebat, banjir, tanah longsor, panas ekstrem, perubahan cuaca tidak terduga, serta kenaikan permukaan air laut yang menenggelamkan banyak wilayah pesisir.
Namun, dampak perubahan iklim terhadap masyarakat dan terutama perempuan yang menanggung beban terberat, tidak hanya saat terjadi bencana iklim saja. Hadir persoalan lain. Mirisnya, solusi untuk mengatasi perubahan iklim yang ditawarkan dan diterapkan, justru membawa persoalan baru yang makin memperburuk situasi mereka yang sudah terkena beban perubahan dan krisis iklim.
Hal ini berakar pada kesepakatan internasional bahwa solusi perubahan iklim itu perlu mengarah kepada kepentingan pasar dengan melakukan investasi ke sumber-sumber energi karbon rendah.
Akibatnya, masuk secara masif banyak mega proyek energi seperti pembangkit listrik tenaga air, geothermal, pembangkit listrik tenaga surya dan angin, bahkan bahan bakar nabati (sawit, antara lain).
“Yang dimaksud orientasi pasar ternyata adalah kepentingan ekspor industri teknologi dan mesin dari negara industri maju ke Indonesia dan negara berkembang lainnya,” ungkap Risma Umar dari Aksi! For Gender Social and Ecological Justice.
Risma lalu menjelaskan bagaimana pengalaman para perempuan yang menghadapi salah satu solusi yang ditawarkan untuk mengatasi perubahan iklim, yaitu geothermal.
Menurutnya, Aksi! for gender social and ecological Justice bersama Solidaritas Perempuan melakukan dialog komunitas pada Pertemuan Kedua Global Thematic Social Forum on Mining and Extractive Economy (Global TSF-Mining) untuk membahas Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PTLPB) atau dikenal dengan nama geothermal di Indonesia pada 19 Oktober 2023 di Semarang bersama lebih dari 65 orang Indonesia maupun dari negara lainnya.
Perlawanan masyarakat di 17 desa akibat kerusakan lingkungan dan hilangnya mata pencaharian akibat operasi PT. Ulumbu di Poco Leok yang dibiayai oleh lembaga keuangan Jerman ‘Kreditanstalt fuer Wiederaufbau (KfW) dan beroperasi sejak 2018, ditindas secara brutal oleh aparat militer, termasuk kekerasan seksual. Sementara itu, geothermal yang didanai Asian Development Bank dan mulai beroperasi tahun 2002 pernah mengalami kecelakaan, mengeluarkan semburan panas lumpur, merusak 1,579 rumah di 11 desa, dan mencemari sungai yang merupakan sumber mata air masyarakat setempat.
“Banyak penduduk desa harus meninggalkan rumah dan tanahnya. Karenanya “Geothermal adalah eksploitasi perempuan, masyarakat adat, tradisi, budaya dan ekosistem, melahirkan pelanggaran Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan,” tegas Linda Tagi dari Solidaritas Perempuan Flobamoratas Nusa Tenggara Timur.
Kepulauan Flores di Provinsi Nusa Tenggara Timur ditetapkan oleh Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) sebagai Pulau Panas Bumi (Geothermal Island) pada tahun 2017 dengan menetapkan 27 lokasi geothermal. Sudah bisa dibayangkan bahwa pulau-pulau kecil yang indah tersebut akan mengalami kehancuran.
Tujuh tahun lalu berlangsung pencemaran lumpur di sungai, mata air dan irigasi di kaki Gunung Slamet di Jawa Tengah akibat kegiatan pembangunan infrastruktur dan eksplorasi geothermal di lerengnya. Pencemaran menghancurkan tambak-tambak ikan milik warga. Juga industri rumahan tahu yang menjadi andalan wilayah tersebut. Perempuan harus berjalan kaki lebih jauh mencari air bersih dan memikul tempat air melalui jalan tanjakan dan licin. “Saat ini dampak pencemaran lumpur tersebut masih tetap dirasakan. Debit air sungai menurun drastis, produsen rumahan tahu yang mampu bertahan, harus mengeluarkan biaya produksi lebih banyak untuk membeli air bersih; tambak-tambak rumahan yang hancur akibat lumpur, tidak bisa pulih. Makin banyak perempuan yang terlilit utang rentenir karena butuh biaya kebutuhan sehari-hari. Mereka sering mengalami kekerasan seksual untuk membayar utangnya. Hidup kami sebenarnya akan lebih baik tanpa geothermal,” ungkap Nurlela, seorang perempuan pejuang lingkungan dari kaki Gunung Slamet.
Persoalan yang dihadapi masyarakat, terutama perempuan, tidak saja saat geothermal dalam tahap eksplorasi dan eksploitasi, tetapi di tingkat desain dan perencanaan pun sudah bermasalah. Salah satu contoh adalah rencana pengembangan geothermal yang dideklarasikan pemerintah tahun 2012 di Pulau Samosir, Danau Toba. Padahal, lokasi geothermal itu adalah wilayah adat yang dihuni secara turun-temurun dengan kawasan pertanian dan peternakan yang merupakan sumber kehidupan masyarakat. Tidak ada informasi yang jelas kepada masyarakat pulau Samosir mengenai rencana proyek. Hal ini jelas melanggar ketentuan nasional dan internasional tentang free, prior and informed consent (persetujuan yang diberikan dengan informasi yang disediakan sebelumnya dan dilakukan tanpa paksaan/kekerasan), yang berlaku untuk intervensi proyek ke wilayah masyarakat adat. “Proyek geothermal tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat adat, termasuk para perempuan adat. Kita harus menolak proyek tersebut yang telah menyingkirkan hak masyarakat adat dan suara perempuan,” demikian menurut Leorana Sihotang, Kelompok Studi dan Pengembangan Masyarakat ( KSPPM).
Contoh lain adalah rencana geothermal di Rajabasa, Provinsi Lampung yang dikembangkan sejak tahun 2013 oleh PT. Supreme Energy (PT. SERB) bersama perusahaan Perancis (GdF Suez atau Engie) yang lalu mundur digantikan perusahaan energi Jepang bernama INPEX Corporation, anak perusahaan Fortune 500, dan Sumitomo Corporation. Masyarakat setempat menolak rencana eksplorasi geothermal di dalam hutan lindung yang memiliki nilai budaya dan ikatan yang kuat dengan mereka, selain akan kehilangan ruang berlindung dari bencana tsunami. Tidak ada informasi yang utuh disediakan untuk masyarakat dan tidak ada konsultasi maupun permintaan persetujuan terhadap masyarakat termasuk kepada perempuan. “Pengembangan proyek geothermal berorientasi pada kepentingan bisnis, hanya menyengsarakan kehidupan masyarakat khususnya perempuan,” terang Aulia Utami, Solidaritas Perempuan Sebay Lampung.
Contoh berikut dari sangat kurangnya informasi mengenai geothermal dan bahkan dilakukan oleh Bank Dunia yang menjadi penyalur dana dari Green Climate Fund (GCF) untuk proyek geothermal di Indonesia. Oktober tahun 2018 GCF menyetujui pendanaan USD 100 juta ke Bank Dunia untuk membiayai kegiatan eksplorasi geothermal di 20 lokasi di Indonesia. “ Namun, 5 tahun sejak proyek tersebut disetujui, hanya ada satu titik merah yang mengindikasikan lokasi proyek pada website Bank Dunia, yakni di Kabupaten Bone. Tidak ada informasi lain. Situasi ini menunjukkan tidak adanya keterbukaan informasi publik mengenai pengembangan geothermal,” ujar Musdalifah Jamal, Perkumpulan Suara Perempuan.
Bisa dibayangkan, apa yang akan juga terjadi di 14 lokasi potensi geothermal yang telah ditetapkan pemerintah untuk Sulawesi Selatan.
Geothermal adalah wujud paradigma pembangunan yang eksploitatif dalam cengkeraman jalinan kuasa patriarki, globalisasi lewat politik neo-liberal, militerisme dan fundamentalisme negara untuk memfasilitasi kepentingan investasi. “Eksploitasi sumber daya alam untuk pengembangan geothermal yang memicu konflik tanah dan pencemaran lingkungan telah dan akan terus memiskinkan perempuan, masyarakat adat dan kelompok rentan lainnya. Pengembangan geothermal di Gunung Rajabasa Provinsi Lampung dan Nusa Tenggara Timur serta wilayah lainnya telah mengabaikan Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination Against Women (CEDAW) yang merupakan perjanjian internasional yang mengikat dan Indonesia telah meratifikasinya, bahwa negara bertanggung jawab untuk menghapuskan diskriminasi yang dilakukan oleh individu dan organisasi swasta. Juga mengabaikan Instruksi Presiden nomor 9 Tahun 2000 mengenai pengarusutamaan gender dalam seluruh tahapan pembangunan di Indonesia dengan ketentuan adanya analisis gender dan keterlibatan pandangan perempuan,” urai Armayanti Sanusi, Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan.
Dialog komunitas memberi pembelajaran bahwa transisi menuju sumber energi dan ekonomi rendah karbon, bukan berarti membangun mega proyek yang diklaim sebagai rendah karbon, bersih dan berkelanjutan. Transformasi atau peralihan dari model ekonomi ekstraktif dalam cengkeraman jalinan kuasa patriarki, globalisasi, militerisme dan fundamentalisme, menuju ekonomi regeneratif, rendah karbon dan berkelanjutan, harus dengan mengganti model ekonomi tidak adil yang berlaku sekarang. Proses transformasi harus mengedepankan kelestarian sumber kehidupan, menhormati Hak Asasi Manusia dan Hak Asasi Perempuan, melibatkan masyarakat lokal khususnya perempuan dalam pengambilan keputusan memenuhi kebutuhan mereka termasuk kebutuhan energi.
Ditambahkan Risma Umar, dari dialog tersebut menggambarkan bahwa geothermal bukan energi bersih dan bukan solusi untuk mengatasi krisis iklim karena menghancurkan lingkungan dan sumber-sumber kehidupan perempuan. Demikian juga melegalkan kekerasan negara bahkan kekerasan seksual terutama terhadap perempuan komunitas yang menentang proyek geothermal. Perubahan dan krisis iklim, demikian juga solusi iklim kini merupakan ancaman terbesar kepada hak asasi manusia dan hak-hak perempuan. (una)