JAKARTA, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Ketimpangan ekonomi mendorong feminisasi kemiskinan. Di mana makin banyak perempuan masuk dalam kelompok miskin dan sekaligus menghadapi ketidakadilan gender. Perempuan miskin tidak memiliki akses ke pengambilan keputusan dan ke sumber-sumber kehidupan akibat pembangunan ekonomi Indonesia yang berlandaskan investasi asing, utang luar negeri dan perdagangan internasional sejak rezim Orde Baru sampai saat ini.
Model pembangunan pertumbuhan ekonomi ini terus bertumpu pada eksploitasi sumberdaya alam dan manusia, sehingga makin banyak perempuan mengalami diskriminasi dan kekerasan berbasis gender. “Fenomena ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan gender yang memicu feminisasi kemiskinan tidak banyak menjadi perhatian publik. Karenanya, kita butuh banyak jurnalis perempuan yang memiliki komitmen pemberitaan untuk ikut memperjuangkan hak perempuan demi kehidupan yang lebih baik dan adil”, ucap Titi Soentoro di hadapan jurnalis, aktivis dan warga yang mengikuti Pelatihan Jurnalistik Feminis yang digelar Aksi! for gender, social and ecological justice dan Konde.co di Jakarta, 28-31 Oktober 2023.
Aksi! for gender, social and ecological justice bekerjasama Konde.co melakukan pelatihan jurnalistik feminis “ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan gender” untuk mengisi kebutuhan tersebut. Pelatihan ini dihadiri sebanyak 20 perempuan, terdiri dari jurnalis, aktivis dan perempuan komunitas dari Maluku, Ambon, Jakarta, Bali, Makassar, Kalimantan Tengah, Papua dan Bengkulu.
Kegiatan dilakukan untuk memperkuat pemahaman aktivis dan jurnalis mengenai realitas pembangunan di Indonesia, ketimpangan ekonomi serta feminisasi kemiskinan dengan menggunakan analisis feminis dan mendorong solidaritas serta komitmen untuk bersama-sama menyuarakan suara perempuan yang hidup dalam kondisi miskin dan terpinggirkan. “Air bersih merupakan salah satu kebutuhan mendasar kami. Tempat tinggal saya, sangat sulit untuk mendapatkan air bersih karena pembangunan Waduk Pluit. Kami harus mengeluarkan uang sekitar Rp.20.000-30.000/hari. Saya berharap, setelah pelatihan ini jurnalis dan media dapat memberitakan krisis air bersih yang dihadapi oleh perempuan di Jakarta,” tegas Muhayati, Jaringan Pekerja Rumahan Indonesia. P
ernyataan tersebut berdasarkan pengalamannya dengan masifnya pembangunan tanggul raksasa untuk mencegah banjir rob akibat perubahan iklim; namun nyatanya malah membuat nelayan makin sulit mendapatkan ikan, merusak lingkungan, menggusur tempat tinggal, menghilangkan mata pencaharian dan mengakibatkan krisis air bersih bagi perempuan. Peserta pelatihan jurnalistik feminis, selain meningkatkan pemahaman mengenai feminisasi kemiskinan akibat model pembangunan ekonomi yang eksploitatif, juga meningkatkan keterampilan peliputan mendalam dengan melihat situasi dan ketidakadilan berlapis yang dihadapi perempuan. Peserta berkunjung ke Kalibaru, Rawa Badak, Muara Angke dan Muara Baru di wilayah Jakarta Utara, sebagai praktek lapangan.
“Kegiatan seperti ini sangat penting dan perlu untuk meningkatkan pengetahuan jurnalis mengenai feminisme. Ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan gender harus bisa ditulis dan menjadi isu prioritas di ruang-ruang redaksi. Jurnalis perlu melihat lebih mendalam sebab dan akibat pemiskinan yang dialami oleh perempuan akar rumput di Indonesia, khususnya di Sulawesi Selatan,” ungkap Sunarti Sain, jurnalis RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID.
Pelatihan ini juga menghadirkan beberapa narasumber yang memiliki pengalaman mengenai strategi peliputan mendalam dengan melihat sebab-akibat feminisasi kemiskinan. Mereka di antaranya adalah Ahmad Arif, anggota harian Kompas dan pengurus Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Ati Nurbaiti, Ketua AJI periode 20002003 dan salah seorang pendiri Perserikatan Solidaritas Perempuan. “Melalui pelatihan ini, saya berharap akan memperkuat pemberitaan di media dan turut mendukung advokasi yang dilakukan untuk mewujudkan keadilan bagi perempuan komunitas yang selama ini kurang disuarakan”, ujar Rori Marwani Subaing, Lembaga Pengkajian dan Penguatan Kapasitas, Papua. (nad)