Konferensi Iklim Internasional Tebar Janji Pendanaan untuk Kerusakan Lingkungan, Titi Soentoro: Itu Uang Receh!

  • Bagikan

PARIS, RADARSELATAN.FAJAR.CO.IDUang receh saja yang diberikan ke dana untuk  loss and damage (kehilangan dan kerusakan) akibat perubahan iklim dibanding kebutuhan nyata rakyat di negara berkembang, apalagi bila dibandingkan dengan subsidi ke industri bahan bakar fosil yang masih terus dilakukan negara industri maju. Lebih kecil dari 0,2 persen nilai kerusakan ekonomi dan non-ekonomi yang dialami negara berkembang akibat krisis iklim, dan kebutuhan penanganan sekitar USD 400 Miliar per tahun.

Hari pertama Konferensi Iklim Internasional, United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Conference of the Parties  (COP) ke 28 atau singkatnya COP 28 di Dubai, Uni Emirat Arab, dibuka dengan kesepakatan untuk dana loss and damage.  Konferensi yang berlangsung selama 2 minggu, dari tanggal 30 November  sampai 12 Desember, juga dipenuhi  sesumbar  janji atau komitmen (pledges) dari negara-negara kaya yang paling bertanggung jawab atas terjadinya krisis iklim:   USD 100 juta dari tuan rumah, Uni Emirat Arab; Inggris sedikitnya USD 51 juta;  Amerika Serikat USD 17,5 juta dan USD 10 juta dari Jepang. Disusul Uni Eropa menjanjikan USD 245,39 juta, termasuk dari Jerman USD 100 juta.

Kesepakatan untuk pendanaan loss and damages ini berawal dari perjuangan negara-negara yang tergabung dalam Alliance of Small Island States (AOSIS) dan Least Developed Countries (LDCs) sejak 30 tahun lalu. Mereka menuntut tanggung jawab dan kompensasi atas kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim seperti kenaikan permukaan air laut, gelombang panas berkepanjangan, pengasaman laut, dan kejadian ekstrim seperti kebakaran hutan, curah hujan meningkat, kepunahan spesies, dan kegagalan panen. Sementara itu negara industri maju yang secara historis bertanggung jawab terhadap peningkatan gas rumah kaca yang memicu perubahan iklim dan terus melakukannya sampai hari ini, selalu menolak tuntutan tersebut.

Perjanjian Paris dalam COP21 tahun 2015 mengakui pentingnya mencegah, meminimalkan dan mengatasi kerugian dan kerusakan akibat perubahan iklim. Terobosan  terjadi saat COP27 di Mesir ditutup pada 20 November 2022 dengan kesepakatan untuk mengatur pendanaan loss and damages bagi negara-negara rentan bencana iklim.

Cukupkah  janji-janji suntikan dana ke pendanaan loss and damages di awal COP28 tersebut?     Sebuah riset yang dimuat dalam World Economic Forum Oktober 2023, menyebutkan kerusakan akibat cuaca ekstrem antara tahun 2000-2019 mencapai rata-rata sekitar USD 143 miliar per tahun, atau sekitar USD 16,3 juta per jam. Studi lain memperlihatkan bahwa perkiraan kehilangan dan kerusakan ekonomi di  negara berkembang akibat perubahan iklim, sebesar USD 425 miliar tahun 2020. Jumlah ini diperkirakan menjadi  USD 671 miliar di tahun 2030, dan akan mencapai USD 1     -USD       1,8  triliun  per tahun sampai tahun 2050.

Kontribusi untuk pendanaan loss and damages seharusnya berdasarkan konsep fair share (bagian yang adil) yaitu berkontribusi sesuai emisi yang dihasilkan. Selain itu diserukan bahwa dana loss and damages harus merupakan dana baru dan tambahan. Kontribusi untuk pendanaan loss and damages setiap negara tidak boleh mengambil dana ODA (Official Development Assistance, yang berbasis pada keputusan Sidang Umum Persatuan Bangsa-Bangsa bahwa negara industri maju harus menyerahkan 0,7% dari pendapatan nasional untuk pembangunan di negara berkembang sebagai bentuk kompensasi atas era penjajahan) maupun dana pembiayaan iklim yang diperuntukan mitigasi (penurunan gas rumah kaca) dan adaptasi (peningkatan ketahanan) terhadap perubahan iklim. Juga diserukan bahwa dana loss and damages berbentuk hibah, tidak utang.

CSOs Amerika Serikat menghitung bahwa fair share  AS untuk loss and damages seharusnya sekitar USD 20 miliar di tahun 2022, dan meningkat sekitar USD 117 miliar per tahun sampai 2030. Bandingkan dengan janji AS di hari pertama COP 28 yang sebesar USD 17,5 juta saja.      

Janji atau pledges tersebut belum tentu terpenuhi. Pengalaman  memperlihatkan negara industri maju gagal memenuhi pledges atau komitmennya untuk pembiayaan perubahan iklim. Janji yang diumumkan di COP15  tahun 2009 di Kopenhagen dan ditegaskan kembali di COP21 di Paris tahun 2015 untuk memobilisasi USD 100 miliar per tahun untuk pendanaan iklim pada tahun 2020 dan terus memobilisasi pendanaan pada tingkat ini hingga tahun 2025, tidak pernah terpenuhi.

Kontribusi pendanaan iklim negara industri maju berjumlah USD 52,2 miliar pada tahun 2013, naik menjadi USD 58,6 miliar pada tahun 2016 dan menjadi USD 78,9 miliar tahun 2018. Tidak pernah mencapai USD 100 miliar      per tahun.  Namun, di sisi lain, Kelompok 20 (G20), yang sebagian besar anggotanya adalah negara industri maju yang memberi pledges di Kopenhagen dan Paris, masih memberikan subsidi ke proyek-proyek bahan bakar fosil    senilai lebih dari 3 triliun USD     sejak tahun 2015 dan meliput hampir tiga perempat dari total subsidi bahan bakar fosil penghasil emisi karbon global yang mendorong pemanasan global.

Titi Soentoro, Direktur  Aksi!  for gender, social and ecological justice yang saat ini sedang mengikuti COP28 di Dubai, menyatakan, “Jangan gembira terlalu awal. Selain  janji,      itu       uang receh dibanding  kebutuhan nyata rakyat di negara berkembang menghadapi situasi loss and damages. Apalagi kalau dibanding  subsidi negara industri maju yang masih terus berlangsung ke industri bahan bakar fosil.  Juga, belum tentu dipenuhi, seperti pengalaman yang selama ini ada dengan dana untuk pembiayaan iklim,” ujarnya. (nad)

  • Bagikan