BULUKUMBA, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Terdapat 13 kasus kekerasan seksual terhadap anak-anak yang ditangani oleh Polres Bulukumba sepanjang tahun 2023.
Kepala Unit (Kanit) Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA), Aiptu Ahmad Kahar memaparkan, 13 kasus kekerasan seksual terhadap anak yang ditangani antara lain 2 kasus pemerkosaan, 7 pencabulan, 4 kasus setubuhi anak.
"Dari semua kasus, 11 telah proses hukum atau P21, kasus masih sementara dalam proses di penyidik," ungkap Aiptu Kahar saat dikonfirmasi RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID, pada Rabu, 3 Januari 2024.
Banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kabupaten Bulukumba merupakan persoalan yang mesti ditanggapi secara serius.
Anggota DPRD Kabupaten Bulukumba fraksi PKB, Andi Soraya Widyasari mengaku prihatin akan kondisi tersebut.
"Saya sangat prihatin dan mengecam keras tindakan oknum yang melakukan kekerasan seksual apalagi terhadap anak-anak," tegasnya.
ASW akronim Andi Soraya Widyasari menyampaikan bahwa pihaknya akan mengambil langkah-langkah tegas untuk memastikan kasus kekerasan seksual terhadap anak dapat ditangani secara menyeluruh dan pelaku mendapatkan sanksi yang setimpal.
"Kami mendukung sepenuhnya proses hukum yang akan dilakukan oleh Polres Bulukumba, Kasus seperti ini tidak boleh dibiarkan dan harus ditangani dengan serius masa depan anak-anak kita," tambahnya.
Andi Soraya juga mengajak semua pihak, untuk bersama-sama menjaga dan melindungi anak-anak dari segala bentuk pelecehan dan kekerasan sampai di lingkungan pendidikan.
"Kami berkomitmen untuk menciptakan lingkungan yang aman, nyaman, dan mendukung perkembangan anak-anak, jika ditemukan di sekitar kita terjadi pelecehan kepada anak, jangan takut untuk melaporkannya kepada pihak kepolisian," imbaunya.
Andi Soraya menyampaikan bahwa dirinya telah mengusulkan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Penyelenggaraan Perlindungan Perempuan dan Anak.
Ranperda tersebut diusulkan sebagai upaya untuk memastikan keadilan dan perlindungan hukum untuk masyarakat rentan khususnya perempuan dan anak-anak.
"Ranperda ini menjadi harapan bersama bagi kelompok rentan terkhusus perempuan dan anak dalam mencari perlindungan terbaiknya di masa mendatang," imbuh Andi Soraya.
Sementara itu, Presidium Wilayah Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Sulawesi Selatan (Sulsel), Agustin menyatakan bahwa baik itu pemerintah, penegak hukum, dan masyarakat mesti saling bersinergi untuk mencegah terjadinya kasus-kasus kekerasan seksual utamanya terhadap anak.
"Termasuk kita masyarkat yang punyaanak harus hati-hati. Jangan dipercayakan anak kita kepada siapapun, karena di sekolah pun sudah tidak aman sekarang," ujar Agustin.
Agustin juga menyarankan agar anak dibekali dengan pendidikan seksual sejak dini, dan pendidikan seksual itu mesti masukkan dalam kurikulum di sekolah-sekolah formal.
Agustin menganggap pendidikan seksual sejak dini dapat menjadi upaya yang efektif untuk menekan angka pelecehan seksual.
"Dengan memberikan pemahaman yang lebih baik tentang batasan pribadi, persetujuan, dan penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain, anak-anak dapat lebih mampu melindungi diri mereka dari pelecehan seksual," terangnya.
Pendidikan seksual yang baik, tambahnya, juga mencakup pembelajaran tentang kesehatan hubungan dan komunikasi yang sehat, yang dapat membantu menciptakan lingkungan di mana pelecehan seksual menjadi lebih tidak toleran.
Selain pendidikan seksual, Agustin memaparkan beberapa langkah yang dapat diambil untuk mencegah pelecehan seksual dalam dunia pendidikan.
Pola asuh dan pendidikan karakter. Mengajarkan nilai-nilai seperti penghargaan terhadap diri sendiri dan orang lain, empati, serta keterampilan komunikasi yang baik.
Kebijakan sekolah yang jelas. Menetapkan kebijakan yang jelas terkait dengan pelecehan seksual, termasuk prosedur pelaporan dan sanksi yang tegas.
Pelatihan bagi tenaga pendidik. Memberikan pelatihan kepada guru dan staf sekolah untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang tanda-tanda pelecehan seksual, serta cara menanggapi dan melaporkan kasus-kasus tersebut.
Pendidikan kesetaraan gender. Mendorong kesetaraan gender dan mengatasi stereotip gender dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mengurangi risiko pelecehan seksual.
Komunikasi terbuka. Membangun budaya sekolah yang mendorong komunikasi terbuka antara siswa, guru, dan orang tua dapat membantu mengidentifikasi masalah sejak dini.
Monitoring dan pengawasan. Menjaga keberadaan pengawasan yang efektif di sekolah, seperti pengawas di area-area yang berisiko, dapat membantu mencegah kejadian pelecehan.
"Kombinasi dari pendekatan-pendekatan ini dapat menciptakan lingkungan pendidikan yang aman dan mendukung bagi semua individu," tukas Agustin. (ewa/has/B)