BULUKUMBA, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Politik uang dianggap dapat menambah suara 10 persen suara Calon Legislatif (Caleg). Olehnya masih ada oknum yang menggunakan praktik haram ini untuk meraih kursi di parlemen.
Tidak hanya di Kabupaten Bulukumba tetapi persoalan politik uang menjadi persoalan umum di Indonesia.
Guru Besar Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Burhanuddin Muhtadi dalam riset ilmiahnya berjudul 'Votes for Sale: Klientelisme, Defisit Demokrasi, dan Institusi, menemukan bahwa Indonesia saat ini menjadi salah satu negara dengan tingkat praktik politik uang saat pemilu terbesar di dunia.
Dalam riset itu menemukan bahwa Indonesia saat ini hanya kalah dari dua negara di Afrika, yakni Uganda dan Benin.
Data itu terungkap melalui hasil riset yang dilakukan oleh Burhanuddin dalam dua Pilpres terakhir pada 2014 dan 2019. Hasilnya, sekitar 33 persen atau 62 juta dari total 187 juta pemilih yang masuk dalam daftar pemilih tetap (DPT) terlibat praktik jual beli suara.
Dalam riset itu juga menemukan, target politik yang sebagian besar menyasar para simpatisan partai politik yang angkanya mencapai 15 persen.
Sementara, sisanya, 85 persen tak masuk dalam sasaran praktik politik uang karena dianggap tak bisa diandalkan. Mereka adalah kelompok pemilih mengambang atau swing voters.
Meski ditemukan bahwa politik uang hanya menyumbang 10 persen suara. Namun, jumlah itu dinilai cukup efektif untuk terutama dalam konteks pemilihan legislatif dan bersaing dengan sesama calon dari partai yang sama.
Angka 10 persen dianggap bisa menjadi faktor penentu kemenangan. Rata-rata margin kemenangan untuk mengalahkan rivalnya hanya 1,6 persen. Jadi, jumlah 10 persen bisa membuat perbedaan caleg yang menang dan yang kalah. ****