BULUKUMBA, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya alam antara lain mineral seperti tembaga, emas, batu bara hingga nikel. Indonesia ada di papan atas sebagai produsen nikel dunia yang merupakan bahan baku utama baterai listrik.
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memproyeksikan kebutuhan nikel untuk memenuhi kebutuhan produksi baterai kendaraan listrik mencapai 59.506 ton pada 2035 mendatang dan diprediksi akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2025.
Kebutuhan baterai untuk kendaraan listrik akan memicu semakin masifnya aktivitas pertambangan yang ekstraktif dan eksploitatif.
Prabowo-Gibran yang saat ini unggul menurut perhitungan real count KPU, berkomitmen melanjutkan program hilirisasi Jokowi seperti yang mereka sampaikan dalam kampanye maupun saat debat publik.
Website Prabowo-Gibran juga menyebutkan hilirisasi dan industrialisasi untuk meningkatkan nilai tambah dalam negeri, dengan hilirisasi nikel sebagai salah satu program unggulan.
Menurutnya, pertambangan nikel dapat menjadi salah satu solusi masalah ekonomi Indonesia, dan hilirisasi nikel merupakan salah satu lokomotif pendorong cita-cita Indonesia Emas 2045.
Marhaini Nasution, dari Aksi! for gender, social and ecological justice menjelaskan bahwa pengalaman di Indonesia memperlihatkan bahwa aktivitas pertambangan khususnya nikel, sangat berkontribusi pada kerusakan lingkungan hidup dan pemiskinan perempuan keluarga dan komunitasnya.
"Mereka menghadapi pencemaran limbah dari aktivitas pertambangan, deforestasi yang semakin luas, pencemaran udara, sedimentasi sisa galian tambang, penggusuran lahan produktif, dan krisis air bersih. Perempuan mengalami dampak terburuk dari situasi ini," jelasnya melalui siaran pers, pada 16 Maret 2024.
Misalnya, kata Maharani, mereka harus memastikan adanya air bersih untuk keluarga di saat terjadi krisis air, terutama untuk kesehatan anak balita dan kesehatan reproduksi mereka sendiri dengan berjalan lebih jauh untuk mendapatkan air bersih.
Di sisi lain, lahan produktif yang menjadi sumber pangan sendiri dan ekonomi keluarga hilang digantikan dengan pertambangan nikel. Selanjutnya, penambangan nikel di beberapa wilayah memicu konflik, kekerasan dan kriminalisasi.
Nikel, merupakan salah satu bahan baku untuk produksi baterai kendaraan listrik selain litium dan kobalt. Makin meluasnya penggunaan kendaraan listrik yang dianggap sebagai salah satu alternatif menggantikan bahan bakar fosil untuk kendaraan sehingga akan menurunkan emisi gas rumah kaca, memicu semakin tinggi permintaan akan nikel tentunya. Padahal produksi nikel padat energi dan dengan proses peleburan tenaga batubara yang menghasilkan emisi karbon tinggi.
Ada yang mengatakan bahwa baterai listrik dapat didaur-ulang, namun proses daur-ulangnya itu sendiri membutuhkan biaya dan energi yang tinggi. Sementara itu dampak jangka panjang dari daur-ulang limbah baterai listrik belum diketahui.
Seharusnya, memurut Maharani , semakin meningkatnya program kendaraan listrik sudah memiliki mekanisme penanganan limbah sehingga bisa mengurangi pencemaran dan kerusakan lingkungan.
"Dana Iklim Hijau/Green Climate Fund (GCF) yang menyetujui proposal proyek Asian Development Bank (ADB) pada awal Maret 2024, untuk program kendaraan listrik, terutama bis listrik di tujuh negara termasuk Indonesia, merupakan tindakan ceroboh dengan mengabaikan persoalan hilirisasi nikel sampai pada penanganan limbah baterai listrik," ungkapnya.
Maharani mengungkapkan proyek tersebut akan meningkatkan permintaan lithium, kobalt, dan nikel yang akan berimplikasi pada masifnya aktivitas pertambangan di Indonesia.
"Kepentingan bisnis bis listrik dan baterai listrik memang lebih diutamakan di sini, walaupun organisasi masyarakat sipil internasional dan Indonesia, termasuk Aksi!, sudah memperingatkan GCF mengenai hal ini," ujarnya.
Maharini menyatakan, sungguh keliru anggapan bahwa transisi energi bersih dengan menciptakan kendaraan listrik adalah sebuah solusi untuk mengatasi perubahan iklim.
"Produksi nikel bersifat padat energi dan berasal dari smelter berbahan bakar batu bara, justru menghasilkan jejak karbon yang tinggi," terangnya.
Meningkatnya produksi baterai listrik bersumber pada penambangan nikel, lithium dan kobalt untuk kebutuhan kendaraan listrik akan menambah deretan pelanggaran HAM dan hak asasi perempuan, serta akan meningkatkan kemiskinan, khususnya perempuan dan kelompok rentan lainnya.
Program kendaraan listrik dengan sumber energi yang tetap bertumpu pada pembangkit tenaga berbasis bahan bakar fosil seperti baterai listrik, belum memiliki mekanisme penanganan limbah, dan bersumber pada hilirisasi mineral yang menghancurkan lingkungan dan sumber-sumber kehidupan masyarakat, bukanlah sebuah solusi perubahan iklim, tetapi menambah persoalan krisis iklim.
"Ini adalah solusi palsu yang justru akan
melahirkan persoalan baru bagi masyarakat, berkontribusi pada penghancuran lingkungan dan kemiskinan perempuan". Marhaini Nasution, Aksi! for gender, social and ecological justice. ****