RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Pemerintah diminta mengantisipasi munculnya calo-calo dalam pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) di dalam negeri. Calo ini berasal dari entitas bisnis yang mengaku sebagai investor, namun realitasnya hanya perantara, alias calo.
ANGGOTA Komisi VII DPR Bambang Patijaya menuturkan, pengembangan EBT terutama energi nuklir kini menjadi sesuatu yang menarik dan diminati. Hal ini menyusul bakal diundangkannya Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Dia menyebut banyak pro dan kontra saat rapat dengar pendapat (RDP) di Komisi VII DPR saat penyusunan RUU EBET.
“Salah satu yang saya sampaikan pada dalam RDP-RDP dengan masyarakat itu adalah bagaimana nuklir didorong sebagai salah satu sumber penyediaan energi nasional. Makanya, kebijakan energi nasional harus diubah,” ujarnya.
Politisi Fraksi Golkar mengatakan, terkait pengembangan energi nuklir ini, memang ada narasi yang menghambat. Dalam argumetasinya disebutkan bahwa nuklir adalah pilihan terakhir di dalam penyediaan energi nasional. Isu ini sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak pengusung energi fosil yang tidak menginginkan nuklir hadir lebih awal.
“Nah sekarang di dalam RUU EBT ini, kemudian juga di dalam kebijakan energi nasional yang baru pun yang sedang dirumuskan oleh Dewan Energi Nasional (DEN), kata-kata itu sudah hilangkan. Bahwa nuklir bukan lagi sebagai pilihan terakhir,” bilangnya.
Adanya kebijakan energi nasional yang baru ini, sambung Patijaya, tentu menghadirkan konsekuensi bahwa sudah saatnya negara mempersiapkan pengembangan EBT itu. Masuknya Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) di bawah Badan Riset dan Ekonomi Nasional (BRIN) dan Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) sebagai lembaga pengawas pengembangan energi nuklir ini merupakan bagian dari upaya untuk menyiapkan hal tersebut.
“Harapan kami, BRIN dapat tetap menjalankan apa yang menjadi produk-produk daripada Batan,” ujarnya.
Sebab konsekuensi Batan di bawah BRIN ini, lanjut Patijaya, menghadirkan dua tantangan yang harus dihadapi. Pertama, bagaimana melanjutkan hasil karya inovasi dan riset-riset pengembangan energi nuklir yang sudah dulu ada. Dan kedua, bagaimana peneliti-peneliti yang handal di bidang nuklir ini tetap dioptimalkan.
“Dua hal ini yang harus diperhatikan sehingga, jangan sampai apa yang sudah menjadi mahakarya atau yang menjadi produk-produk riset-riset yang terdahulu itu jangan sampai menjadi tersia-siakan,” wantinya.
Makanya, Patijaya mendorong pengembangan energi nuklir ini sebagai isu strategis nasional harus tetap dikawal oleh Komisi VII. Dia tidak ingin, ketika RUU EBT ini disusun, malah dimanfaatkan oleh entitas-entitas bisnis untuk sibuk kasak kusuk mengurus perijinan.
“Judulnya memang sebagai investor, tapi kita tahu itu sebagai calo saja. Sudah ngurus izin ini, ngurus izin itu, nanti kalau RUU EBT-nya diketok, mereka jual izin saja kepada pihak luar negeri,” warning-nya.
Patijaya melihat, entitas-entitas bisnis ini mendengung-dengungkan energi nuklir bahwa mereka merupakan investor untuk pengembangan EBT di energi nuklir ini, namun bagaimana teknologinya dan sumber teknologinya justru tidak jelas.
“Sumber dananya juga tidak jelas, tetapi mengaku sebagai investor. Anda tahulah itu entitas bisnisnya apa. Sehingga kemudian politisi-politisi lokal seperti yang ada di Bangka Belitung pun sibuk, seolah-olah nanti, wah ini begini-begini menjadi bagian isu kampanye mereka di dalam ini,” katanya.
Makanya, dia berharap BRIN bersama Bapeten sudah harus mulai mengelola isu-isu tersebut. Sehingga yang namanya energi nuklir ini, tidak sampai menjadi salah kaprah. Jangan karena entitas-entitas bisnis ini, kemudian penerimaan masyarakat menjadi keliru. Sehingga penolakann terhadap pengembangan energi nuklir ini malah menjadi tinggi atau menjadi blunder.
“Nah kami berharap, segala macam sumber-sumber energi, kita harus berikan peluang yang sama untuk berkembang, salah satunya adalah nuklir,” tegasnya. (jpnn)