Perahu Pinisi Terancam Punah, Anugerah Ilahi akan Dibakar?

  • Bagikan

BULUKUMBA, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Beberapa waktu lalu,  di berbagai media sosial beredar  isu bahwa ada sebuah perahu Pinisi historis asal Bulukumba, Sulawesi Selatan yang akan dibakar ramai-ramai pada awal bulan mendatang.  Benarkah?  Lantas apa alasannya? 

Berikut sekilas latar belakang isu miring dan memalukan itu!

Ya,  “Pinisi Jadi Warisan Dunia,” kata orang-orang.  Nah, sebenarnya bukan perahu pinisilah yang menjadi Warisan Takbenda UNESCO. Tetapi yang menjadi warisan dunia takbenda dari Unesco adalah pengetahuan membangun dan melayarkan perahu yang sejak ratusan tahun bertumbuh di desa Lemo-Lemo, Ara, Tana Beru dan Bira, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba di Sulawesi Selatan. 

Dengan gamblang saja: Warisan dunia takbenda adalah sesuatu yang sebagaimana kita bisa membaca pada penjelasan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentangnya, “tidak dapat dipegang” – sementara, sebaliknya, perahu tipe apa pun memang benda yang tidak saja dapat kita pegang, tetapi bisa kita naiki dan bawa keliling sampai Kanada, Australia dan Madagaskar sekalipun.

Tetapi, apakah di Sulawesi masih ada wahana berlayar kebanggaan bangsa ini?  Ya, jelaslah, masih ada. Banyak ‘phinisi’, kapal-kapal sewaan turis yang biasanya dieja pakai H di belakang huruf awalnya, dengan susunan kamar-kamar yang menjulang tinggi di atasnya bak gedung hotel terapung. 

Bagaimana pun, jelas juga bahwa kapal-kapal itu berbeda jauh dari perahu layar pinisi nan ramping dan elegan yang direkam pada foto-foto teladan aslinya itu.  Dan ya, lagi bertentangan dengan pinisi benaran, ‘phinisi’ wisata itu tidak bisa berlayar dengan menggunakan angin saja karena –entah ada– tiangnya pendek dan layarnya kecil-kecil; dan, lebih-lebih lagi, sebab kebanyakan pemilik dan pelautnya memang sudah tidak lagi cakap mengendalikan perahu yang hanya digerakkan oleh angin saja.  

Bila dilihat dari sisi teknis saja, lambung kapal-kapal wisata itu pun bukan berjenis palari, salompong atau jonggolang seperti semestinya perahu pinisi betulan. Tetapi serupa kapal barat – dan dengan itu juga tidak dibangun dengan mengikuti pola rancangan tradisional tatta, salah satu saripati pada warisan dunia takbenda itu. 

Jadi, tak usah heran bahwa sekarang tersisa tak sampai setengah lusin panrita lopi, ahli pembuat perahu, yang masih mahir menciptakan lopi, sebutan bahasa setempat atas ‘perahu’, yang sesuai dengan reka bentuk warisan leluhur orang Bontobahari itu.

Karena memang di ambang kepunahan, tiga tahun silam keterampilan membangun dan melayarkan perahu itu menjadi topik Program Pengetahuan Terancam yang diselenggarakan British Museum, salah satu museum terbesar dan terdepan sebumi yang berpusat di London, Inggris. 

Dengan dana yang sangat minim, sejumlah ilmuwan dan aktivis asal dalam dan luar negeri telah mendokumentasikan pembangunan sebuah replika perahu pinisi bertipe palari salompong, yang serupa dengan yang tergambar pada foto dan deskripsi historis maupun ingatan para panrita lopi tua, dalam ratusan jam video dan wawancara, gambar teknis dan reka ulang tiga dimensi.  Idenya, hasil dokumentasi itu akan disajikan, secara gratis dan bebas pakai untuk tujuan non-komersial, kepada khalayak ramai sedunia pada suatu pameran virtual di laman internet British Museum itu.

Akan tetapi, bukan itu saja hasilnya: Seusai dibangun, perahu yang diberi nama lengkap ‘Anugerah Ilahi, Sri Mutiara Tana Beru’ itu disiapkan untuk berlayar seperti nenek-moyang kita, tanpa mesin dan peralatan modern, dengan misi melestarikan juga pengetahuan berlayar para pelaut Bira yang merupakan pati kedua Warisan Dunia Takbenda yang dipersembahkan oleh UNESCO kepada kita.  Maka, pada tahun silam Anugerah Ilahi telah berlayar, semata-matanya didorong oleh angin dan kepiawaian para pelaut tua Bira saja. Lebih 1000 mil laut, mengantar buku ke pulau-pulau terpencil di perairan Kepulauan Pabbiring untuk program Pustaka Bergerak Indonesia, serta merapah ke Balikpapan sebagai duta Sulawesi Selatan pada perayaan Nusantara Sail di lokasi Ibu Kota baru.  Selama berlayar ikutlah pula belasan muda-mudi bangsa yang rajin belajar cara menangani perahu layar tradisional – ya jelas dong, supaya tidak hilang kita mestinya berusaha untuk meneruskan pengetahuan yang terancam itu kepada anak-cucu kita.

Sepulang dari Kalimantan, perahu dibawa kembali ke Bira untuk dipersiapkan buat kegiatan baru pada tahun ini – dan di situ mulailah ia merana.  Setelah pada awal tahun masih dipakai selama beberapa hari oleh Balai Pelestarian Kebudayaan wilayah Sulawesi Selatan dan Tenggara, Anugerah Ilahi tidak lagi dapat tugas apa pun: Program Pustaka Keliling gentas, para pelancong yang biasa meramaikan kawasan wisata di Bira dan Tana Beru itu kurang berminat berlayar dengan perahu historis yang hanya mengandalkan angin dan tidak dilengkapi penyejuk udara dan sarana modern lainnya itu, dan berbagai misi budaya dan pendidikan yang dilontarkan tim penggeraknya sepertinya tidak dapat apresiasi serius dari berbagai pihak, baik instansi pemerintahan, organisasi kemasyarakatan maupun pihak donor swasta yang didekati. 

Alhasil, sejak sekian bulan Anugerah Ilahi berlabuh di depan tempat pembuatannya di Tana Beru, menunggu saatnya layar dan tali-temalinya lapuk dan papan lambungnya bobol dimakan rutus laut, si serangga pelahap kayu yang acap menyerang perahu yang tidak bergerak.

“Kami sebenarnya dari awal tahun sudah siap untuk rampungkan kembali perahu agar bisa berlayar lagi.  Bahkan, cat anti-rutus dan pengganti tali dan kawat layar yang tidak layak lagi sudah sedia, tinggal dipasang.  Bagaimana pun, soalnya, biar sudah siap lantas perahu tidak bergerak juga, maka semua upaya percuma saja karena sesaat lagi akan rusak kembali kalau tidak dipakai,” ujar Guswan Gunawan, salah satu aktivis tim perahu yang sudah dua kali membawa perahu tradisional sampai ke Australia. 

Peneliti Dr. Horst Liebner yang juga seorang ahli budaya dan sejarah maritim asal Jerman yang sejak awal ikut dalam upaya menggolkan pemberian status Warisan Dunia Takbenda kepada tradisi pembuatan perahu dan pelayaran Bontobahari serta bertugas sebagai koordinator dokumentasi pembuatan Anugerah Ilahi  berkata: “Biar tidak bergerak, sebuah perahu tradisional selalu memerlukan biaya, dari gaji teman-teman pelaut tua yang menjaganya sampai perawatan kecil-besarnya.  Kami sejak akhir tahun silam mengeluarkan seratusan juta uang pribadi kami untuk mempertahankan adanya perahu pinisi terakhir ini, tetapi ya, kini sudah betul-betul berada di ujung nafas.  Memang, masih bisa menyiapkan kembali perahu itu, tetapi mau buat apa – biar siap, pada bulan depan sudah tidak akan ada dana sepeser pun lagi, dan perahu akan kembali rusak.”

Maka, sejak dua minggu silam berembuklah tim pengurus Anugerah Ilahi.  “Kami dengan sedih ingat nasib perahu-perahu Cinta Laut, Nur Al-Marege, Amanna Gappa atau bahkan Pinisi Nusantara, yang semua mati suri pelan-pelan dan akhirnya habis tenggelam karena tidak dapat tugas dan dukungan.  Melestarikan budaya bahari dan mengadakan pendidikan tentang tradisi berlayar sepertinya tidak pernah dapat perhatian yang berkesinambungan – yang kini menggantikannya ya kapal ‘phinisi’ wisata mewah ber-AC yang sama sekali tidak mencerminkan budaya dan sejarah bahari bangsa”, ujar Guswan. 

Nah, agar Anugerah Ilahi tidak senasib dengan yang telah berlayar mengadakan misi kebudayaan dan pendidikan sampai ke Australia, Madagaskar dan bahkan Amerika tadi maka lahirlah ide membakar perahu pinisi layar beneran terakhir di dunia itu.  “Dengan terus-terang, bila tidak ada perubahan pada hari-hari mendatang ini, kami akan siapkan Anugerah Ilahi untuk pelayaran akhiratnya, dan membawanya ke laut lalu membakarnya ramai-ramai, dengan layar terbuka, sebagai suar atas apa yang sedang terjadi dengan warisan maritim Nusantara.  Jelas, teman-teman wartawan semua diundang menyaksikannya,” tegas Horst.

Sudah begitukah ajal Anugerah Ilahi dan warisan bahari Nusantara yang diwakilinya itu?  Menurut Irawan Marhadi, salah seorang pentolan perhimpunan petualang terdepan Indonesia, WANADRI, pihaknya sebagai organisasi berbasis pendidikan di alam terbuka sebenarnya sangat bersyukur karena sejak tahun lalu diberikan ruang dan peluang ikut melestarikan kebudayaan maritim bangsa dengan ikut di atas perahu pinisi. “Kami melakukan misi budaya dan pendidikan sambil belajar melayarkannya.  Sudah hal pasti bahwa ke depan kami ingin mengajak lebih banyak anggota muda kami untuk ikut ,” katanya.  Akan tetapi, jelasnya, hambatannya berada pada pendanaannya, baik untuk operasional perahu maupun untuk mendatangkan anggota WANADRI ke tempatnya. 

“Baik kami maupun tim pinisi itu tidak mencari untung dengan mengajak anak muda bangsa melaut dan berlayar, tetapi biar biayanya tidak seberapa pun, ya tetap diperlukan tangan terbuka donatur.”  Dan tangan terbuka itulah yang sudah dicari kesana kemari sejak awal tahun ini.  “Kalau saya secara pribadi betul dapat mengerti frustrasi mendalam teman-teman dari Anugerah Ilahi itu.  Rasanya, kepedulian khalayak terhadap warisan bahari kita sesungguhnya sangat kurang,” ujarnya.  Apakah memang benar seperti itu?  Kita sepertinya akan menyaksikan jawabannya awal bulan depan, saat Pinisi Anugerah Ilahi benar-benar akan berlayar menuju kematiannya. ***

  • Bagikan

Exit mobile version