DPR Dianggap Kebiri Konstitusi, Rakyat Diserukan Berlawan

  • Bagikan
Aksi demonstrasi soal keputusan MK

RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI) dianggap telah mengebiri putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah aturan ambang batas pencalonan kepala daerah. Tidak hanya itu, melalui panitia kerja (panja) badan legislasi (baleg), DPR juga mengubah batas usia calon kepala daerah.

Revisi Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) diselesaikan dalam waktu yang sangat singkat, hanya sehari. Proses dimulai dengan rapat kerja (raker) bersama pemerintah dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) pada pukul 11.00 WITA, dan berlanjut dengan rapat panja baleg revisi UU Pilkada.

Dalam rapat panja tersebut, keputusan MK yang baru dikeluarkan sehari sebelumnya, pada 20 Agustus 2024, diubah. Keputusan terkait syarat usia minimum calon kepala daerah, yang sebelumnya dihitung sejak penetapan pasangan calon oleh KPU, diubah menjadi dihitung sejak pelantikan calon terpilih.

Rapat sempat memperdebatkan Putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024, yang menyatakan bahwa calon gubernur dan wakilnya minimal harus berusia 30 tahun saat dilantik sebagai pasangan calon. Beberapa fraksi sepakat merujuk pada putusan MA, dan pimpinan rapat, Achmad Baidowi, segera mengakomodasinya.

Namun, Fraksi PDIP mengajukan protes melalui Putra Nababan, anggota baleg Fraksi PDIP, yang mempertanyakan keputusan untuk mengakomodasi putusan MA tanpa menghitung setiap fraksi yang menyetujui

Baidowi menepis protes tersebut, menyatakan bahwa PDIP telah diberi kesempatan untuk berpendapat, dan rapat dilanjutkan dengan mengabaikan protes tersebut. Perubahan batas usia calon ini membuka kembali peluang bagi Kaesang Pangarep untuk ikut serta dalam kontestasi Pilkada.

Pembahasan panja juga menyentuh putusan MK terkait ambang batas pencalonan kepala daerah, dengan baleg mengakalinya dengan melonggarkan ambang batas hanya untuk partai politik yang tidak memiliki kursi di DPRD. Hal ini diatur dalam Pasal 40 revisi UU Pilkada, yang tetap memberlakukan ambang batas 20 persen kursi DPRD atau 25 persen suara sah pileg kepada partai-partai yang memiliki kursi di parlemen.

Rapat panja menyetujui usulan DPR tanpa perlawanan berarti, dan pembahasan revisi UU Pilkada pun tuntas pada pukul 17.55 WITA.

Kilatnya pembahasan revisi ini disusul dengan rapat paripurna yang dijadwalkan hari ini, 22 Agustus 2024, pukul 10.30 WITA di ruang rapat paripurna, Gedung Nusantara. Surat undangan rapat paripurna ini telah beredar, ditandatangani oleh Kepala Biro Persidangan I, Arini Wijayanti.

Menteri Hukum dan HAM, Supratman Andi Agtas, menyatakan bahwa pemerintah hanya merespons perkembangan dan fakta dalam persidangan, serta menunggu perkembangan di DPR, meskipun rapat paripurna telah dijadwalkan hari ini. "Pembahasan ini masih di DPR. Dinamika politik masih bisa berkembang," ujarnya dilansir dari JawaPos.com.

Protes terhadap sikap DPR dalam menyikapi putusan MK memicu gelombang aksi unjuk rasa di berbagai daerah, termasuk di Sulawesi Selatan. Selain itu, kelompok akademisi dan aktivis prodemokrasi juga akan menggelar aksi serupa di depan MK.

Beberapa tokoh yang dijadwalkan ikut serta dalam aksi tersebut antara lain Saiful Mujani, Goenawan Muhammad, Valina Singka Subekti, Soelistyowati, dan Abraham Samad. Aktivis Ray Rangkuti dan guru besar Bivitri Susanti telah memastikan kehadiran mereka dalam aksi hari ini.

Ray Rangkuti menegaskan bahwa tindakan DPR yang membatalkan Putusan MK Nomor 60 dan 70 Tahun 2024 merupakan tragedi konstitusional yang serius.

"Tampaknya, keputusan DPR yang membatalkan Putusan MK tidak didesain untuk jangka panjang, tetapi hanya untuk kebutuhan sesaat, khususnya demi ambisi politik keluarga, kelompok, atau blok politik oligarki," pungkasnya dilansir dari JawaPos.com.****

  • Bagikan