* Oleh: Sunarti Sain
Pemimpin Redaksi RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID
SEBUT saja ia Bulan. Remaja perempuan yang baru berusia 14 tahun. Ia masih duduk di kelas 8 salah satu SMP di Kecamatan Kindang, Kabupaten Bulukumba.
Bulan didampingi kedua orang tuanya, beberapa hari lalu, akhirnya melaporkan kasus kekerasan seksual yang dialami selama satu tahun terakhir. Pelakunya adalah guru di sekolahnya. Seorang Guru BK yang seharusnya menjadi pelindung dan penyelamat. Bukan sebaliknya.
Kasus ini nyaris saja berakhir dengan pernikahan yang dipaksakan. Pelaku mengakui semua perbuatannya dan berjanji akan menikahi Bulan. Orang tua Bulan pun ‘diteror’ dengan macam-macam alasan. Nama baik kampung, nama baik keluarga dll. Tak ada yang memikirkan bagaimana Bulan seorang diri menanggung beban akibat perlakuan sang guru.
Sehari jelang Hari H pernikahan, orang tua Bulan membuat keputusan penting. Melaporkan kasus tersebut ke kepolisian. Ibu Bulan tak kuasa melihat putri pertamanya terus menerus mengeluarkan air mata. Ibunda Bulan juga mendapat dukungan moril dari para aktivis perempuan yang memberinya kekuatan dan menyuntikkan semangat untuk berani berbicara.
Sayangnya, lagi-lagi kasus Bulan dianggap sebagai peristiwa yang terjadi karena keduanya dianggap memiliki hubungan sejak berbulan-bulan lalu. Di Media, kepala sekolah di mana guru tersebut mengajar mengaku telah mengeluarkan guru itu karena ketahuan menjalin hubungan dengan siswanya.
Di beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan sekolah seringkali alasan menjalin hubungan, suka sama suka, dan narasi yang sejenis dijadikan tameng.
Padahal ada faktor relasi kuasa yang sangat kental yang memengaruhi kasus kekerasan seksual di lingkungan sekolah atau ranah pendidikan itu terjadi.
LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) bahkan mencatat lebih dari 25 persen korban kekerasan seksual yang meminta perlindungan terkait dengan dunia pendidikan.
Sekolah seharusnya menjadi tempat yang aman bagi anak-anak untuk mengejar dan mendapatkan pengetahuan, bukan sebaliknya. Menjadi neraka bagi para korban kekerasan seksual.
Berdasarkan catatan LPSK tahun 2022 permohonan perlindungan tindak pidana kekerasan seksual sebanyak 634 pemohon. Dari jumlah itu, 379 pemohon berstatus korban dan 84 di antaranya korban kekerasan seksual terkait dunia pendidikan.
Apa Itu Relasi Kuasa ?
Relasi Kuasa adalah relasi yang bersifat hirarkis, ketidaksetaraan, dan atau ketergantungan status sosial, budaya, pengetahuan/Pendidikan, dan ekonomi yang menimbulkan kekuasaan pada satu pihak terhadap pihak lainnya sehingga merugikan pihak yang memiliki posisi lebih rendah. Relasi kuasa itu misalnya terjadi antara dosen dengan mahasiswa, guru dengan siswa, orangtua dengan anak, artis dengan fans, bos dengan karyawan, rentenir dengan pengutang, dan sebagainya.
Bahkan, bisa saja relasi kuasa terjadi antara seseorang dengan orang yang disukai atau dikaguminya, meskipun tak punya hubungan langsung. Seringkali, adanya kuasa yang dimiliki pelaku atas korban membuat pelaku merasa berhak dan tidak bersalah ketika melakukan tindakan biadabnya. Lantas perempuan harus bagaimana? Penting bagi perempuan untuk memiliki kemampuan multi level approach. Ketegasan dan keberanian diharapkan ada dalam setiap diri perempuan agar terhindar dari hal-hal yang mengancam keselamatan mereka dalam hal seksual.
Perempuan harus berdaya, agar berani menolak dan bertindak tegas. Inilah pentingnya relasi yang setara. Sebagai perempuan kita harus paham soal consent dan power untuk bisa mencegah kekerasan seksual. Jika tindak kekerasan seksual sudah terlanjur terjadi, perempuan juga sebisa mungkin harus segera bangkit dari keterpurukan dan berani mengambil tindakan tegas. Depresi dan tekanan psikologis yang dialaminya secepat mungkin harus diselesaikan dan bergerak menegakkan keadilan. Untuk itulah pentingnya support system dan perlindungan bagi korban atau penyintas. Harus diakui bahwa lingkungan yang mendukung keberadaan penyintas masih sulit ditemukan dalam masyarakat kita saat ini. Tapi itu bukan berarti tidak ada.
Masyarakat bisa diedukasi apa yang harus dan tidak boleh mereka lakukan, jika di lingkungannya ada yang mengalami pelecehan atau kekerasan seksual. Jangan biarkan korban atau penyintas berjuang sendiri. (***)