BANTAENG, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Koalisi Pemerhati Ketenagakerjaan (KaPeKa) menghadiri Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi B DPRD Bantaeng untuk menindaklanjuti gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi di PT Huadi Nickel-Alloy Indonesia.
RDP yang digelar pada Senin, 10 Maret 2025, ini menjadi langkah konkret dalam menuntut perlindungan bagi buruh yang terdampak kebijakan perusahaan.
Sejak akhir 2024 hingga 2025, PT Huadi telah melakukan PHK bertahap. Pada Desember 2024, sebanyak 19 buruh dipecat, disusul 15 buruh pada Januari 2025. Gelombang PHK terus berlanjut hingga Maret 2025 dengan tambahan 24 buruh yang kontraknya diputus. Total pekerja yang terdampak dalam kurun waktu tersebut mencapai 58 orang.
PHK massal ini tidak hanya menyebabkan hilangnya mata pencaharian bagi buruh, tetapi juga menimbulkan persoalan terkait pembayaran upah dan jam lembur yang dinilai tidak sesuai.
Dalam RDP yang berlangsung di Ruang Rapat Komisi B DPRD Bantaeng, KaPeKa menyoroti dugaan mekanisme PHK sepihak serta minimnya peran pemerintah daerah dalam memastikan perlindungan terhadap hak-hak buruh di kawasan industri tersebut.
“Pemerintah harus memastikan perusahaan membayar pesangon kepada seluruh pekerja yang terkena PHK. Selain itu, juga memastikan pembayaran kekurangan upah pokok pekerja untuk bulan Januari dan Februari 2025 sesuai dengan SK Gubernur Nomor 1423/XII/2024 tentang Penetapan UMP Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2025” ujar perwakilan KaPeKa dalam forum tersebut.
Mereka juga meminta DPRD untuk lebih proaktif dalam mengawal kebijakan ketenagakerjaan di Kawasan Industri Bantaeng (KIBA), dengan menekankan pentingnya regulasi yang berpihak pada pekerja serta memastikan investasi industri tidak mengorbankan hak buruh.
Menanggapi tuntutan tersebut, Kepala Dinas Tenaga Kerja Bantaeng, Andi Irfan, menyampaikan bahwa perusahaan wajib memenuhi hak pekerja yang terkena PHK. Ia juga menyoroti pentingnya transparansi dalam pembayaran upah lembur agar tidak ada penundaan.
"Selain itu, kami meminta transparansi dalam pembayaran upah lembur agar dibayarkan tanpa penundaan," jelasnya.
Menurutnya, tuntutan KaPeKa harus dipenuhi, dan PHK sebisa mungkin dihindari. Sebagai alternatif, ia mengusulkan opsi merumahkan pekerja atau mengurangi jam kerja sebelum mengambil langkah PHK.
Sementara itu, Andi Sukri selaku pengawas ketenagakerjaan menegaskan bahwa pihaknya akan meminta perusahaan bertanggung jawab atas kekurangan upah yang ditemukan.
Ia juga menegaskan bahwa koordinasi dengan perusahaan telah sering dilakukan, meskipun perusahaan memiliki rantai manajemen yang panjang.
Namun, ia berharap ke depan PT Huadi tidak hanya membayarkan kekurangan upah, tetapi juga memperbaiki sistem pengelolaan tenaga kerja agar tidak ada lagi permasalahan dalam perhitungan gaji dan hak-hak buruh lainnya.
Di sisi lain, pihak PT Huadi yang diwakili oleh Andi Adrianti Latippa menjelaskan bahwa PHK dilakukan karena pabrik Wuzhou tahap dua tidak lagi beroperasi.
Namun, ia memastikan bahwa perusahaan tetap akan mempertahankan bagian yang masih bisa berjalan. Meski begitu, ia menegaskan bahwa proses PHK tetap akan berlanjut karena kondisi perusahaan yang tidak lagi mampu bertahan, meskipun pihaknya akan tetap berupaya agar operasional tidak sampai tutup sepenuhnya.
Rapat ini ditutup dengan pernyataan pimpinan Komisi B DPRD Bantaeng yang menegaskan komitmennya untuk menindaklanjuti aspirasi yang disampaikan oleh KaPeKa serta mengawal proses penyelesaian permasalahan PHK agar menemukan solusi yang adil bagi buruh terdampak.
DPRD juga menekankan pentingnya memastikan hak-hak buruh tetap terpenuhi oleh perusahaan sehingga stabilitas ketenagakerjaan di Kawasan Industri Bantaeng tetap terjaga.
KaPeKa berharap pemerintah daerah dan DPRD segera mengambil langkah konkret guna memastikan perlindungan hak-hak pekerja serta menciptakan kondisi ketenagakerjaan yang lebih adil dan berkelanjutan di Kabupaten Bantaeng.****