MAKASSAR, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Sidang perdana gugatan perlawanan eksekusi yang diajukan oleh Warga Bara-Barayya terhadap Itje Siti Aisyah berlangsung di Pengadilan Negeri Makassar, Selasa, 11 Maret 2025.
Sidang ini dihadiri oleh perwakilan warga sebagai penggugat, didampingi kuasa hukum dari LBH Makassar serta Aliansi Bara-Barayya.
Dalam sidang tersebut, Majelis Hakim menemukan fakta baru berupa perbedaan tanda tangan yang diduga digunakan atas nama Itje Siti Aisyah dalam dokumen eksekusi.
Kuasa hukum warga, Muhammad Ansar, mengungkapkan bahwa terdapat ketidaksesuaian antara tanda tangan yang digunakan dalam berbagai dokumen terkait.
Perbedaan ini semakin memperkuat dugaan pemalsuan keterangan dalam permohonan eksekusi yang diajukan oleh Itje Siti Aisyah.
"Jika dibandingkan antara dokumen yang berkaitan dengan Itje Siti Aisyah yang kami miliki dengan tanda tangan dalam Surat Kuasa yang diperlihatkan dalam persidangan, sangat jelas ada perbedaan signifikan. Sama sekali tidak identik," ujar Muhammad Ansar di hadapan majelis hakim.
Sidang yang digelar di Ruang Prof. Oemar Seno Adji, ini berlangsung tanpa kehadiran langsung dari Itje Siti Aisyah sebagai terlawan eksekusi. Ia hanya diwakili oleh kuasa hukumnya, Agusta R. Lasompuh.
Muhammad Ansar juga menyoroti ketidakhadiran Itje Siti Aisyah sejak awal proses hukum ini bergulir.
"Kami menduga kuat bahwa yang membubuhkan tanda tangan dalam surat kuasa bukanlah Itje Siti Aisyah. Apalagi, sejak warga mengajukan gugatan derden verzet pada 2022 lalu, ia tidak pernah hadir dalam persidangan," tambahnya.
Gugatan ini berangkat dari permohonan eksekusi yang diajukan oleh Itje Siti Aisyah, yang ditentang oleh warga serta Aliansi Bara-Barayya.
Dalam gugatan tersebut, LBH Makassar menguraikan sejumlah fakta dan dasar hukum yang menunjukkan bahwa Itje Siti Aisyah tidak memiliki hak sah untuk mengajukan permohonan eksekusi.
Berdasarkan penetapan Pengadilan Agama Makassar, penggugat dalam perkara asal merupakan ahli waris Modhinoeng Dg. Matika, sementara Itje Siti Aisyah memiliki garis keturunan yang berbeda. Pada tahun 2019, perkara ini menyebut Nurdin Dg. Nombong sebagai satu-satunya penggugat tanpa mewakili ahli waris lain.
Merujuk pada Pasal 833 dan Pasal 832 KUHPerdata, hak ahli waris dalam perkara ini seharusnya hanya berlaku bagi keturunan langsung yang berhak atas kepemilikan tanah. Dengan demikian, status Itje Siti Aisyah sebagai pemohon eksekusi dianggap tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Dugaan mafia tanah dalam kasus ini semakin menguat dengan adanya bukti perbedaan tanda tangan serta ketidakhadiran Itje Siti Aisyah dalam berbagai sidang sebelumnya.
Warga Bara-Barayya yang telah menempati lahan tersebut selama puluhan tahun terus berupaya mencari keadilan atas hak kepemilikan tanah mereka.
Sejak 2017, gugatan terhadap warga terus bergulir tanpa kejelasan, dan banyak persidangan yang berlangsung tanpa kehadiran pihak yang mengklaim hak atas tanah tersebut. Dugaan adanya praktik manipulasi hukum dalam sengketa ini semakin diperkuat dengan laporan pidana yang telah diajukan warga ke Polda Sulawesi Selatan.
“Kami tidak akan menyerah untuk mencari bukti baru. Tanah ini sudah kami beli dan kami tinggali selama puluhan tahun. Kami tidak akan mundur, bahkan sejengkal pun. Kami berharap majelis hakim bersikap adil dalam memutus perkara ini, serta aparat kepolisian lebih serius mengusut dugaan mafia tanah yang telah merugikan warga Bara-Barayya,” tegas Andarias, salah satu warga yang terdampak.
Sidang ini akan berlanjut dengan agenda pemeriksaan lebih lanjut terkait dugaan pemalsuan keterangan dan keabsahan permohonan eksekusi yang diajukan oleh Itje Siti Aisyah. Warga Bara-Barayya berharap pengadilan dapat mengungkap fakta hukum yang sebenarnya dan memberikan putusan yang adil.****