MAKASSAR, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Dua Saksi dari Kampus Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM) hadir dalam persidangan pemeriksaan saksi di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar pada Kamis,13 Maret 2025.
Fakta persidangan menjelaskan bahwa terdapat kekeliruan dan kesalahan pengambilan tindakan dalam memberikan sanksi terhadap Alhaidi.
Sidang di mulai pada pukul 11.00 WITA yang berlangsung di Ruang Sidang Candra dan dihadiri oleh pihak Tergugat Wakil Dekan 3 Fakultas Tarbiyah Keguruan (FTK), Ridwan Idris dan Ketua Prodi Pendidikan Islam Anak Usia Dini (PIAUD) FTK UIN Alauddin Makassar, Eka Damayanti.
Dalam hal ini, Dekan FTK UIN Alauddin Makassar sebagai Tergugat sekali lagi tidak menghadiri persidangan.
Alhaidi (Aldi sapaan akrab) dilaporkan oleh Ridwan Idris dengan alasan melakukan demonstrasi di depan Kampus 1 UIN Alauddin Makassar pada tanggal 5 Agustus 2024. Ridwan menuduh mahasiswa yang melakukan demonstrasi melakukan penghalangan jalan.
Ridwan menekankan tindakan Mahasiswa pada saat itu merugikan Wakil Dekan 3 Fakultas Syariah dan Hukum, Rahmatiah. Pada saat itu, Rahmatiah sedang melangsungkan pernikahan anaknya di Hotel UIN Alauddin Makassar.
“Itu mahasiswa demo, menghalangi semua jalan. Itu mengganggu acara pernikahan anaknya WD 3 Syariah, Ibu Rahmatiah,” jelas Ridwan
Tuduhan Ridwan tersebut jelas keliru, pada saat demonstrasi tanggal 5 Agustus terjadi rekayasa lalu-lintas. Sehingga pengguna jalan masih dapat melintasi depan Kampus 1 UIN Alauddin, hal ini tentunya berbeda dari tuduhan Ridwan.
Ridwan juga tidak mencermati, bahwa demonstrasi yang dilakukan mahasiswa sesegera mungkin dibubarkan secara paksa oleh Kepolisian bersama dengan Wakil Rektor 3 UIN Alauddin tanpa ada negosiasi terlebih dahulu. Sehingga tidak ada penutupan jalan yang dituduhkan oleh Ridwan.
Peristiwa tersebut terekam dalam video di website LBH Makassar.
Ridwan menuduh mahasiswa yang melakukan demonstrasi tidak mematuhi Surat Edaran 2591. Padahal, aksi protes yang dilakukan oleh mahasiswa UINAM adalah aksi penolakan terhadap surat edaran tersebut.
Ketika ditanya soal UU. No 9 Tahun 1999 yang mengatur aturan menyampaikan pendapat yang tidak mengharuskan adanya izin oleh Penasehat Hukum Alhaidi. Ridwan mengaku tidak membaca UU tersebut, Ridwan mengaku tindakannya merupakan instruksi dari Rektor Hamdan Juhannis.
“Saya tidak pernah baca aturan itu, saya melaporkan mahasiswa karena instruksi dari Rektor,” ujar Ridwan
Atas dasar perintah tersebut, Ridwan melaporkan Alhaidi dan 2 mahasiswa FTK lainnya melanggar kode etik kepada Dewan Kehormatan Universitas (DKU) UIN Alauddin, karena melakukan aksi demonstrasi.
Saat ditanya oleh Kuasa Hukum Alhaidi, pelanggaran kode etik mana yang dilanggar oleh Alhaidi dan mahasiswa lainnya. Ridwan mengaku hanya mengikuti instruksi dari Rektor, Ridwan juga pada dasarnya tidak melihat Alhaidi pada saat demonstrasi.
Keterangan Ridwan berbanding terbalik dengan Jawaban Gugatan Tergugat yang diajukan pada 13 Januari 2025 dalam persidangan, yang menjelaskan bahwa Tergugat juga memberikan panggilan dari DKU di tanggal 5 Agustus 2024.
Padahal dalam keterangannya, Ridwan mengakui tidak pernah memberikan surat panggilan di tanggal 5 Agustus 2024, dan tidak pernah bertemu Alhaidi di tanggal 5 Agustus 2024.
Berdasarkan keterangan sebelumnya, Ridwan yang mendapat perintah dari Rektor untuk membubarkan aksi. Ridwan tidak pernah menemui Alhaidi sebelumnya pada aksi demonstrasi 5 Agustus 2024.
“Saya tidak pernah melihat Alhaidi di aksi tersebut dan saya tidak pernah ketemu Alhaidi di hari itu,” terang Ridwan Idris dalam kesaksiannya.
Ridwan mengetahui Alhaidi terlibat aksi, setelah ditangkap secara semena-mena oleh Kepolisian. Mustahil bagi Tergugat memberikan surat panggilan kepada Alhaidi pada saat itu juga.
“Bagaimana mungkin, anda (Ridwan) memberikan surat panggilan kepada Penggugat pada tanggal 5 Agustus. Sedangkan, anda mengakui tidak pernah menemui Penggugat pada hari itu,” tanya Hasbi Assidiq kuasa hukum Alhaidi, dalam persidangan.
Setelah memeriksa Ridwan, Majelis Hakim memanggil Eka Damayanti sebagai saksi kedua yang dihadirkan oleh Tergugat.
Pada prosesnya, Eka Damayanti bertugas menyampaikan surat pada tanggal 23 Agustus 2023 dari DKU kepada Alhaidi untuk menghadiri sidang pemeriksaan. Namun, Eka Damayanti tidak pernah memberikan surat panggilan langsung kepada Alhaidi.
Eka memerintahkan Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) PIAUD untuk memberikan surat tersebut kepada Alhaidi melalui pesan WhatsApp.
“Surat tersebut (surat panggilan DKU) saya terima pada 23 Agustus 2024. Saya tidak mengenali Alhaidi sebelumnya, maka dari itu saya memerintahkan ananda saya (Ketua HMJ) untuk menghubungi Alhaidi dan memberitahukan,” jelas Eka
Dalam pemeriksaannya, Eka merasa tidak pernah memberikan surat panggilan sidang dari DKU kepada Alhaidi pada tanggal 5 Agustus 2024.
“Kalau surat yang tanggal 5 Agustus 2024, saya tidak pernah,” ungkap Eka Damayanti saat memberi kesaksian.
Selain, Eka Damayanti juga mengakui bahwa ia memang pernah menghubungi kakak kandung Alhaidi untuk memberitahukan adanya sanksi skorsing tersebut.
Namun tidak pernah menyampaikan kepada orang tuanya, itupun dilakukannya setelah gugatan atas sanksi skorsing tersebut diajukan oleh Alhaidi.
Padahal dalam Keputusan Rektor UIN Alauddin Makassar Nomor 680 Tahun 2020 tentang Pemberhentian dan Penetapan Masa Studi Mahasiswa UIN Alauddin Makassar, yang menetapkan agar Surat Tembusan Pemberian Sanksi Skorsing diberikan kepada orang tua/wali mahasiswa yang bersangkutan
“Saya menelpon kakaknya, bukan orang tuanya, saya menelpon setelah gugatannya diajukan,” tambah Eka
Dari keterangan saksi yang notabene merupakan civitas akademika kampus UIN Alauddin Makassar, jelas menunjukan rusaknya manajemen administrasi kampus.
Banyaknya proses administrasi yang melanggar Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik serta peraturan internal kampus. Hal ini tentu sangat merugikan mahasiswa UIN Alauddin Makassar.
Dua kesaksian ini semakin meneguhkan bahwa sangat jelas keputusan yang diambil hanyalah akal-akalan yang jika dilihat lebih luas untuk mematikan gerakan protes mahasiswa dalam Kampus.
Segala cara, meski melanggar prinsip maupun aturan. Seperti itulah cerminan wajah kampus otoriter, perbedaan pendapat akan selalu dianggap sebagai ancaman yang harus matikan sesegera mungkin.
Hal yang lain patut disorot adalah terkait pemanggilan yang dilakukan oleh DKU terhadap Alhaidi tertanggal 10 Maret 2025 yang didasari oleh tuduhan Kampus UINAM terhadap Alhaidi yang melakukan pemalsuan berkas Kuliah Kerja Nyata (Surat Keterangan Berkelakuan Baik).
Dalam persidangan, Ridwan sendiri yang mengakui bahwa hal tersebut murni merupakan kesalahan kampus dan Alhaidi tidak seharusnya dilaporkan ke pihak kepolisian.
Atas tindakan semua itu, Kampus UIN Alauddin Makassar jelas salah dan keliru. Mengambil keputusan dengan menskorsing Alhaidi justru memicu api solidaritas di berbagai kampus di Kota Makassar.
Selama persidangan berlangsung, puluhan Mahasiswa melakukan demonstrasi di luar PTUN Makassar serta memegang spanduk besar bertuliskan “Memenangkan Aldi, Memenangkan Demokrasi”.
Sidang berlangsung hingga pukul 16.00 WITA. Di akhir persidangan, di depan Majelis Hakim dan seluruh pihak yang bersidang. Aldi meminta hakim memutuskan mencabut SK skorsing dan memutus seadil adilnya.
“Saya minta Majelis Hakim mencabut SK Skorsing dan memutus perkara ini seadil-adilnya,” pinta Aldi.****