Niat Lindungi Lingkungan dan Ruang Hidupnya, 18 Nelayan di Mateng Dilaporkan ke Polda Sulbar

  • Bagikan
Aksi solidaritas terhadap Nelayan yang dilaporkan di Polda Sulbar

MATENG, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Puluhan warga dari Desa Karossa Kabupaten Mamuju Tengah dan Desa Sarassa, Kabupaten Pasangkayu, mendatangi Kantor Polda Sulawesi Barat, pada Senin,17 Maret 2025 dan Selasa, 18 Maret 2025.

Mereka melakukan aksi dengan membentang spanduk, sebagai bentuk solidaritas terhadap 18 orang warga yang dilaporkan karena melakukan aksi penolakan tambang pasir laut, di Desa Karossa.

Menurut Mirayati Amin, selaku Tim Penasehat Hukum warga panggilan ini dilayangkan secara acak terhadap warga yang teridentifikasi aktif dalam gerakan penolakan tambang.

“Undangan Klarifikasi yang dikirim tidak hanya menyasar warga yang ikut dalam aksi pada 27 Februari 2025, tapi penyidik juga memanggil warga yang dianggap ikut bersolidaritas dalam penolakan tambang, sekalipun tidak berada di lokasi kejadian,” ungkap Mirayati Amin.

Pihaknya menduga kuat, laporan ini sengaja dibuat dengan tujuan untuk membungkam partisipasi warga dalam melindungi lingkungan dan ruang hidupnya, khususnya warga Dusun Karossa dan Kayucalla. Mengingat, dalam rentetan waktu November 2024 hingga saat ini, massif melakukan perlawanan.

Selama 2 hari, warga yang didampingi oleh Tim Penasihat Hukum yang tergabung dalam Koalisi Bantuan Hukum Rakyat (KOBAR) Tim Advokasi Rakyat Sulawesi Barat, diperiksa secara bergantian di Ruang Kasubdit III Jatanras, Ditreskrimum, POLDA Sulbar.

“Jika Polda Sulbar tetap memaksakan dengan melanjutkan laporan ini, maka dapat dipastikan tindakan tersebut melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) atas lingkungan Hidup yang baik dan sehat. Dengan kata lain, laporan ini mengandung unsur Strategic Litigation/Lawsuit Against Public Participation atau SLAPP,” ujar Muhammad Ansar, Koordinator Advokasi LBH Makassar.

Berdasarkan informasi yang diterima, warga dimintai keterangan atas Laporan Informasi No.LI/9/III/2025/Ditreskrimum, tertanggal 4 Maret 2025, dengan tuduhan melakukan tindak pidana pengrusakan dan pengancaman saat melakukan pengusiran kapal penyedot pasir, di muara sungai Karossa.

Pada proses pemeriksaan, setiap warga diperlihatkan video, lalu diminta untuk mengidentifikasi dan disebutkan nama - namanya setiap massa aksi yang hadir pada saat itu.

“Sebagaimana kita ketahui bahwa perlindungan tersebut telah terakomodir dalam Pasal 66, UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Permen LHK Nomor 10 tahun 2024 tentang Perlindungan Hukum Terhadap Orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik yang seharusnya dijadikan pertimbangan bagi kepolisian untuk dapat memproses laporan tersebut,” tambah Edy Maulana Naro, salah seorang kuasa hukum Warga, yang tergabung dalam Koalisi Bantuan Hukum Rakyat - Tim Advokasi Rakyat Sulbar.

Salah satu warga yang ikut diperiksa, Ambo Tang menjelaskan bahwa aksi penghalangan yang dilakukan merupakan reaksi spontan karena aktivitas kapal perusahaan dilakukan tanpa sosialisasi atau pelibatan warga, jadi warga tidak punya kesempatan untuk menolak tambang sejak awal.

“Kalau sejak awal kami didengar pendapatnya, mungkin warga tidak akan bereaksi seperti ini. Siapa tidak marah kalau tempat menangkap ikannya mau diambil pasirnya. Lari ikan kalau begitu. Ini juga Pak Polisi kenapa kami yang dipanggil, bukan perusahaan? Sedangkan mereka yang mau merusak kampungnya kami,” tegas Ambo Tang.

Anwar selaku Kepala Dusun Karossa, juga ikut dimintai keterangan setelah video aksi penolakan tambang pasir laut viral di sosial media. Padahal, pada hari yang sama Anwar tidak ikut dalam aksi tersebut, ia sedang berada di Kantor Dusun.

“Saya justru bingung kenapa ikut dipanggil, padahal saya tidak ada di lokasi kejadian. Saya berada di kantor Dusun, karena masih jam kerja. Tapi, saya tetap dimintai keterangan,” ungkap Anwar

Anwar tidak sendiri, ada 4 orang warga lainnya yang tidak berada di lokasi, tapi tetap dipanggil oleh penyidik POLDA Sulbar.

Tambang Pasir Ancam Wilayah Tangkap Nelayan

Diketahui, bahwa aksi pengusiran kapal yang dilakukan warga Desa Karossa dan Desa Sarassa, pada 27 Februari 2025 merupakan reaksi spontan warga saat melihat aktivitas kapal dari PT. Alam Sumber Rezeki ke wilayah muara sungai Karossa.

Aktivitas tersebut melanggar kesepakatan hasil Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) yang sebelumnya dilaksanakan pada 16 Januari 2025, di kantor DPRD Provinsi Sulbar. Dimana, pada poin pertama ditegaskan, bahwa PT. Alam Sumber Rezeki dan PT. Yakusa Tolelo Nusantara dilarang beraktivitas sampai ada hasil evaluasi oleh pihak terkait.

“Dalam perlindungan Lingkungan Hidup, setidaknya terdapat 2 kategori Hak, yaitu hak prosedural dan hak substansi. Hak warga untuk berpartisipasi dan didengar pendapatnya sebagai bagian dari hak prosedural dalam perlindungan lingkungan hidup yang tidak bisa diabaikan sama sekali,” ujar Muhammad Ansar, Koordinator advokasi LBH Makassar.

RDPU tersebut ditandatangani oleh Pihak Perusahaan PT. Alam Sumber Rezeki, Wakil Ketua dan Anggota DPRD Provinsi Sulbar, Dinas ESDM Daerah Provinsi Sulbar, Dinas Penanaman Modal dan PTSP Provinsi Sulbar, DLH Provinsi Mamuju, Perwakilan Aliansi Masyarakat Pesisir Mamuju Tengah dan Pasangkayu.

Menurut Ansar, salah satu warga Dusun Kayu Calla yang juga ikut diperiksa, Perusahaan harusnya menahan diri untuk tidak melakukan aktivitas apapun, hingga hasil evaluasi perizinan selesai dilakukan. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Hal ini tentu memicu kemarahan warga, yang memang sejak awal tidak pernah dilibatkan atau didengar pendapatnya.

“Jika warga melakukan aksi protes, ini mengindikasikan adanya masalah dalam aspek prosedural penerbitan izin pertambangan tersebut.  Di sisi lain, Apa yang dilakukan oleh warga sama sekali bukan tindakan yang dapat dipidana, justru harus dilindungi oleh Negara, terutama pihak kepolisian, dalam hal ini Polda Sulbar,” lanjut Muhammad Ansar.

Paska RDPU tersebut, anggota DPRD Provinsi dan KKP Mamuju sempat mengunjungi Desa Karossa, namun hingga hari ini belum ada hasil apapun yang diterima warga. Pada 20 Februari 2025, warga kembali bersurat ke Ketua DPRD Provinsi Sulbar untuk meminta dilakukan pertemuan untuk mencegah konflik berkepanjangan antara warga dan pihak perusahaan. Namun, hingga rilis ini diterbitkan, belum ada respon atas surat tersebut.

“Sangat jelas motif atau niat yang mendasari tindakan warga, yaitu untuk melindungi lingkungan dan ruang hidupnya dari ancaman aktivitas penambangan,” pungkas Muhammad Ansar.****

  • Bagikan

Exit mobile version