BULUKUMBA, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Bupati Bulukumba, Andi Muchtar Ali Yusuf menekankan pentingnya menjunjung tinggi semangat toleransi yang selama ini dianggap telah menjadi bagian dari budaya masyarakat Butta Panrita Lopi.
“Saya percaya, masyarakat Bulukumba pada dasarnya adalah masyarakat yang terbuka dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebersamaan. Namun, dalam situasi seperti ini, kita semua butuh ruang untuk saling memahami, bukan saling menghakimi,” ujar Bupati yang akrab disapa Andi Utta itu dilansir dari bicarabaik.id, Kamis, 24 April 2025.
Soal polemik penolakan pendirian rumah ibadat umat Katolik di Bulukumba, Andi Utta menegaskan bahwa regulasi harus dibaca secara bijak, bukan dijadikan alat untuk menutup ruang ibadah umat lain.
"SKB Dua Menteri itu dibuat sebagai panduan, bukan penghalang. Mari kita kedepankan semangat kebersamaan dan gotong royong seperti yang diwariskan para leluhur kita,” kata Bupati.
Bupati juga menyampaikan bahwa Pemerintah Kabupaten siap menjadi mediator yang adil dan terbuka dalam menyelesaikan persoalan ini secara dialogis.
Ia juga mengajak seluruh tokoh agama dan masyarakat untuk duduk bersama, membuka ruang komunikasi yang sehat dan penuh hormat.
"Kita harus mendidik masyarakat bahwa perbedaan itu bukan ancaman. Justru, keberagaman adalah kekayaan kita sebagai bangsa dan daerah. Mari kita rawat toleransi ini demi masa depan yang lebih damai dan saling menghargai,” tegasnya.
Dalam kesempatan tersebut, Bupati mengajak semua pihak, baik pemerintah, tokoh agama, maupun tokoh masyarakat untuk ikut menyebarkan semangat moderasi beragama, yakni sikap tengah, dan menjunjung keadilan dalam kehidupan beragama.
“Moderasi beragama bukan hanya tanggung jawab pemerintah atau Kementerian Agama. Ini tanggung jawab kita semua sebagai warga negara,” ujarnya.
Andi Utta menjelaskan, moderasi beragama adalah cara pandang, sikap, dan perilaku dalam beragama yang menekankan pada keseimbangan, toleransi, dan menghargai perbedaan.
Warga masyarakat diharapkan tidak mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan toleransi antar umat beragama.
“Jadi jangan karena minoritas lalu tidak diberi ruang. Masyarakat kami harapkan bisa memahami makna dari toleransi,” tambah Andi Utta.
Ia juga mengingatkan bahwa membangun rumah ibadah bukan sekadar soal administratif, tetapi juga soal toleransi, bagaimana kita membuka diri, memahami, dan menerima keberadaan saudara-saudara kita yang berbeda keyakinan, sebagaimana yang diajarkan oleh nilai-nilai luhur Indonesia.
Sebelumnya, pandangan yang sama juga disampaikan oleh Wakil Ketua DPRD Kabupaten Bulukumba dari Fraksi PKB, Fahidin HDK.
Fahidin HDK, menyebut bahwa pembangunan tempat ibadah umat Katolik tidak seharusnya mendapat penolakan karena menyangkut nilai-nilai toleransi antarumat beragama.
“Sebaiknya jangan ditolak, karena ini soal toleransi. Kita di agama Islam diajarkan bagaimana hidup berdampingan secara baik,” ujar Fahidin kepada RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID, Selasa, 22 April 2025.
Menurutnya, penolakan yang muncul dari masyarakat lebih disebabkan oleh kurangnya edukasi mengenai wawasan kebangsaan dan pentingnya hidup dalam keberagaman.
“Boleh jadi penolakan itu karena masyarakat belum paham soal kebangsaan dan toleransi. Padahal Islam itu agama yang paling toleran,” tegasnya.
Fahidin mencontohkan sikap Nabi Muhammad SAW yang memberi ruang kepada umat Kristiani untuk menjalankan ibadahnya pada masa itu.
Hal tersebut, kata dia, harus menjadi teladan dalam membangun kerukunan di tengah masyarakat yang majemuk.
“Sekarang itu yang mesti kita implementasikan. Bulukumba ini daerah yang beragam, semua berhak menjalankan agamanya secara damai, termasuk memiliki tempat ibadah,” katanya.****