Bulog Bulukumba Ungkap Pembelian Gabah Kering Panen yang Harus Untungkan Petani

  • Bagikan
Wakil Pimpinan Bulog Cabang Bulukumba, Norin Samma, saat menjadi narasumber pada kegiatan Dialog Tanpa Baper.

BULUKUMBA,RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Kabupaten Bulukumba merayakan melimpahnya hasil panen padi tahun ini. Namun di balik kebahagiaan produksi padi yang meningkat, tersimpan polemik mengenai penyerapan gabah yang dibahas dalam diskusi "Dialog Tanpa Baper" dengan tema: Panen Melimpah, Siapa yang Untung?.
Dialog yang diikuti 50-an peserta ini diselenggarakan oleh media RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID dan BicaraBaik.id pada Kamis malam 24 April 2025 di Kedai Kopi Bundaran Pinisi, Bulukumba.

Diskusi ini menarik perhatian masyarakat karena isu serapan gabah dan berbagai macam problematikanya memang tengah hits dibicarakan di Bulukumba. Diskuis menghadirkan narasumber dari Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Bulukumba, Bulog Bulukumba, perwakilan mitra Bulog dan Perpadi Bulukumba.

Direktur RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID, Sunarti Sain yang menjadi host menekankan pentingnya dialog terbuka untuk mengatasi isu-isu krusial yang dihadapi oleh masyarakat khususnya petani.

"Dialog ini merupakan ruang publik yang penting bagi masyarakat untuk menyuarakan isu-isu yang sedang menjadi polemik, terutama terkait penyerapan gabah di musim panen saat ini," ujar Sunarti.

Wakil Pimpinan Bulog Cabang Bulukumba, Norin Samma memaparkan, saat ini pemerintah menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar Rp 6.500 per kilogram untuk gabah kering. Meski begitu, banyak tantangan yang harus dihadapi oleh petani.

“Kalau berbicara sesuai tema kita, maka siapa yang diuntungkan, maka petani harus untung,” tegas Norin.
Toh, pihaknya mengakui ada sejumlah persoalan yang ditemui di lapangan.

“Kita harapkan produksi tidak hanya melimpah dari segi kuantitas tapi juga meningkat dari segi kualitas,” tambahnya.

Gabah yang dibeli dengan harga sesuai HPP adalah Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani dengan kualitas kadar air maksimal 25 persen dan kadar hampa maksimal 10 persen.

Kompleksitas pertanian ini karena melibatkan berbagai proses dari hulu hingga hilir. Serta pentingnya edukasi bagi petani mengenai kualitas gabah yang dihasilkan.

Diakui Norin, pemerintah ingin petani yang diuntungkan. Penetapan HPP yang lebih tinggi dari tahun sebelumnya adalah langkah positif dan benar-benar angin segar bagi petani. “Harusnya harga gabah bisa lebih tinggi jika kualitas panen bagus,” ujarnya.

Di Bulukumba, persoalan mulai muncul ketika masa panen bertepatan dengan musim hujan. Sementara infrastruktur di Kabupaten Bulukumba belum maksimal. Misalnya keterbatasan Gudang yang kemudian diantisipasi dengan penyewaan Gudang oleh Bulog, keterbatasan dryer yang menyebabkan kualitas gabah menurun bahkan di beberapa tempat ada gabah yang rusak karena basah.

“Jadi HPP itu stimulus aja sebenarnya. Dari tahun-tahun sebelumnya juga begitu,” tambah Norin.

Hal lain yang positif dari program baru ini menurut Norin adalah hidupnya kembali pabrik-pabrik yang sebelumnya mati suri.
“Beberapa mitra penggilingan yang bekerjasama banyak yang sebenarnya mati suri. Dengan program ini mereka punya keberanian kembali menjalankan usahanya dan beroperasi kembali,” ujarnya.

Soal keterbatasan sarana dan prasarana lanjut Norin terus berupaya diantisipasi dengan melakukan sejumlah terobosan dan berkoordinasi dengan mitra Bulog.

"Padi itu tidak hanya sampai dipanen saja, tetapi juga kualitasnya yang perlu diperhatikan. Dengan kualitas yang baik, petani dapat menjual lebih dari harga minimal yang ditetapkan pemerintah,” kata Norin.
Aktivitas sampai pada pasca panen inilah yang menurutnya harus mendapat perhatian bersama.

Sementara Jasman yang mewakili Kadis Pertanian menjelaskan proses dari hulu yang dimulai dari budidaya, pra panen, panen dan pasca panen.

“Ada peningkatan cukup signifikan produksi panen tahun ini dibanding tahun sebelumnya,” ungkapnya.

Kondisi yang terjadi di lapangan juga menunjukkan tingginya serapan dibanding daya tampung.

Tantangan yang selalu dihadapi saat panen adalah masih ada petani menjual gabah tidak sesuai HPP. “Ini tantangan bersama. Bukan hanya tantangan pemerintah.”

Saat ini kata Jasman, ada sekitar 24.000 hektar yang sudah tertanam sampai Maret 2025. “Yang sudah panen. 13.000 ha dengan produksi 85.000 ton gabah. Yang sudah diserap Bulog 33.000 ton. Angka ini sudah cukup tinggi,” katanya.

Bagaimana dengan yang belum terpanen? Masih ada estimasi produksi 75.000 ton dan ini yang harus diantisipasi ke depan.

Soal harga yang petani jual di bawah HPP menurutnya masalahnya juga kompleks. Diakui ada pedagang lokal yang datang membeli gabah petani dan petani pun ada yang punya ketergantungan menjual gabahnya kepada pedagang lokal meski di bawah HPP. Alasannya bermacam-macam, misal karena menghindari gabah rusak dll.

Dalam diskusi tersebut juga terungkap peran pedagang lokal yang menolak disebut sebagai tengkulak. Salah satu perwakilan Asprindo mengatakan mereka pedagang lokal yang juga butuh hidup dan tidak pernah memaksakan petani menjual gabah di bawah HPP. “Tentu kami juga membeli sesuai kesepakatan dan kualitas dari gabah yang ada,” katanya.

Jasman sendiri merasa bersyukur karena ada peningkatan serapan gabah tahun ini yang menunjukkan peningkatan produksi. ***

Penulis: Fitriani SalwarEditor: Sunarti Sain
  • Bagikan

Exit mobile version