MAKASSAR, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Masa jabatan Gubernur Sulawesi Selatan berakhir pada 5 September 2023. Pemilihan kepala daerah serentak digelar lebih setahun mendatang. Di jeda waktu itu, akan ada penjabat kepala daerah alias Pj. Gubernur Sulsel.
Hari-hari ini publik ramai berdiskusi tentang siapa gerangan Pj. Gubernur Sulsel nanti? Semua pandangan mengarah ke DPRD Sulsel, menunggu nama-nama yang hendak diusulkan ke Jakarta. Lalu, ternyata gagal. Tak ada yang muncul dari Gedung DPRD di Jalan Urip Sumoharjo itu.
Apa yang terjadi? Mari membedah ruang kewenangan DPRD untuk mengusulkan nama penjabat kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota), seperti diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 04/2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati, dan Penjabat Wali Kota.
Permendagri tersebut sebagai tindak lanjut dari putusan Mahkamah Konstitusi yang telah mengadili perkara konstitusi pengujian undang-undang pada tingkat pertama dan terakhir: Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022, yang menyatakan perlu menjadi pertimbangan dan perhatian Pemerintah untuk menerbitkan peraturan pelaksana sebagai tindak lanjut Pasal 201 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.
Tindak lanjut dan tafsir dari putusan MK oleh Kemendagri kesannya sangat "baik hati" karena telah memberi ruang kepada daerah untuk dapat mengusulkan nama figur bakal calon penjabat kepala daerah (gubernur, bupati dan walikota). Ini setidaknya dapat dikatakan terpenuhi secara prosedural prinsip-prinsip demokrasi : Permendagri Nomor 04/2023, Paragraf 1 Pengusulan Pj Gubernur.
Pasal 4
(1) Pengusulan Pj Gubernur dilakukan oleh:
a. Menteri; dan
b. DPRD melalui Ketua DPRD provinsi.
(2) Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mengusulkan 3 (tiga) orang calon Pj. Gubernur yang memenuhi persyaratan.
(3) DPRD melalui ketua DPRD provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat mengusulkan 3 (tiga) orang calon Pj Gubernur yang memenuhi persyaratan kepada Menteri.
Mencari Penjabat Gubernur
DPRD Sulsel kemudian menindaklanjuti surat Menteri Dalam Negeri 100.2.1.3/3734/SJ, tanggal 21 Juli 2023, perihal usul nama calon Penjabat Gubernur, yang pada intinya meminta pengusulan nama calon Penjabat Gubernur Sulawesi Selatan paling lambat tanggal 9 Agustus 2023.
Terkait hal tersebut, DPRD Provinsi Sulawesi Selatan telah melakukan proses pengusulan calon Penjabat Gubernur dengan berpedoman pada Peraturan DPRD Provinsi Sulawesi Selatan Nomor 1 tahun 2023 tentang Tata Tertib DPRD serta mengedepankan musyawarah dan mufakat. Berkali-kali pimpinan DPRD bersama pimpinan fraksi bertemu, baik dalam rapat resmi ataupun dalam perjumpaan yang sifatnya sersan -- serius tapi santai. Semua pertemuan itu punya agenda tunggal yakni membicarakan figur yang tepat dimajukan dalam usulan DPRD Sulsel sebagai calon penjabat gubernur.
Pada Senin sore, 7 Agustus 2023, usai rapat internal badan anggaran di Gedung Tower DPRD lantai 9, para pimpinan DPRD dan Pimpinan Fraksi berpindah tempat pertemuan ke ruang rapat pimpinan dengan agenda utama "mengerucutkan nama dari semua nama yang terjaring menjadi 3 (tiga)".
Suasana pertemuan santai tapi alot. Berlangsung amat lama. Masih sementara berlangsung pertemuan di ruang rapim, di jagat maya lewat beberapa media online sudah beredar 3 nama calon Pj. Gubernur yang akan diusulkan oleh DPRD Sulsel. Akibatnya ponsel para peserta rapim seolah tidak mau berhenti berdering. Bertanya tentang hal-ihwal 3 nama yang sudah telanjur beredar di media online. Pertemuan para pimpinan ini berlangsung sampai tengah malam.
Keesokan harinya, Selasa 8 Agustus 2023, bukan hanya di media online tapi di media cetak pun sudah menulis berita yang "mempertegas" usulan final tentang tiga nama yang keluar dari DPRD Provinsi Sulsel menjadi Pj Gubernur kepada Kemendagri. Ketiga nama tersebut, Prof. Dr. Aswanto, SH, M.Si, DFM, Dr. Drs Bahtiar, M.Si, dan Laksamana Muda TNI. Dr. Ir. Abdul Rivai Ras, MM, M.S, M.Si. Sekitar pk 10.00 wita, penulis berkomunikasi dengan tiga pimpinan fraksi. Penulis kaget karena mereka bertiga bernada sama, tidak membenarkan 3 nama yang beredar melalui media massa cetak dan online sebagai seolah keputusan final atas nama lembaga DPRD, padahal belum ada sama sekali keputusan final.
Kata mereka, kami tidak setuju dengan 3 nama itu. Kami tidak mau kalau calon yang diajukan oleh fraksi kami tidak dimasukkan sebagai usulan, yaitu Dr. Drs. H. Jufri Rahman, M.Si. Kalau mau dipaksakan lebih baik kita tempuh mekanisme voting dalam forum paripurna. Begitu penegasan tiga pimpinan fraksi.
Merespons sikap dari ketiga pimpinan fraksi ini yang secara tegas tidak "se-ia", pimpinan DPRD membuka kembali ruang urung rembug antara pimpinan DPRD bersama pimpinan fraksi. Kali ini pertemuan urung rembug dibuat laiknya rapat keluarga dalam suasana sangat santai karena digeser tempatnya yakni digelar tidak di ruang rapim kantor DPRD Sulsel tetapi di rumah jabatan salah satu pimpinan DPRD, yakni Ni'matullah.
Namun suasana santai rupanya belum sedikitpun melunakkan sikap dari para peserta rapat. Betapa tidak jelang pukul 15.00 wita mereka bubar tapi belum juga bisa menemukan kesepahaman dan kesepakatan untuk mengerucutkan 3 nama. Artinya mekanisme musyawarah mufakat yang sudah "sehari-semalam" atau dengan kata lain sudah 1 x 24 jam diupayakan tetap saja menemui jalan buntu. Opsi yang tersedia sesuai tatib DPRD, Bab IV, Bagian kedua, Pemilihan, pasal 55 (ayat 3) apabila usul nama sebagaimana dimaksud ayat (1) lebih dari 3 (tiga) nama, maka dilakukan pemilihan dalam rapat paripurna.
Waduh, tetiba suasana kebersamaan antarfraksi yang selama ini terawat terjalin dengan baik seolah "di ujung tanduk" demi dan untuk mengerucutkan 3 (tiga) nama calon Pj Gub.
Usai salat Ashar, penulis ke ruang kerja ibu ketua DPRD. Ternyata di situ sudah lebih duluan duduk salah satu ketua fraksi. Melihat cara duduknya dan piring bekas makanan yang ada di depannya sepertinya ia sedari tadi sudah datang. Begitu penulis duduk, ibu ketua DPRD menawarkan makanan. Saya jawab "masih kenyang ibu ketua". Kami pun ngobrol bertiga terkait belum adanya kesepahaman dan kesepakatan bulat para pimpinan fraksi.
Selang beberapa menit kemudian, datang juga salah seorang pimpinan, wakil ketua DPRD, bergabung. Jadinya kami berempat dalam ruangan. Belum duduk, beliau langsung "nembak" dan berkeluh kesah, "..wah parah situasi, barusan saya dihubungi salah satu ketua partai, minta diback-up calon usulan fraksinya".
Pesan dan permintaan ketua partai yang menghubunginya via telepon katanya "menjijikkan". Seolah kompak kami bertiga bertanya kepada wakil ketua DPRD, apa penyampaiannya pak ketua ? Beliau melanjutkan "Masa' seorang ketua partai bicara seperti ini. Tenang pak ketua, ada ji itu…". Ternyata sang ketua fraksi yang sedari tadi berada di ruangan ibu ketua DPRD sudah lebih dulu mendapatkan telepon dan pesan yang sama dari sang ketua partai.
Mendengar informasi ini, ibu ketua DPRD meminta stafnya memanggil pak sekwan. Tidak berselang lama datang pak sekwan dengan tergopoh-gopoh. Sedikit tegang roman mukanya. Belum sempat duduk, ibu ketua langsung beri perintah: "Pak sekwan, hubungi semua ketua-ketua fraksi. Kita rapat. Sampaikan tidak boleh diwakili".
Pak Sekwan bertanya lagi "Kapan bu ketua". Ibu ketua langsung menyambar dengan intonasi suara sedikit meninggi. "Sekarang!," tegasnya.
Interval waktu menunggu para ketua fraksi, penulis pun bergeser ke ruangan wakil ketua DPRD yang juga pimpinan partai fraksi penulis. Belum beberapa menit duduk di ruangan Wakil Ketua DPRD, Ni'matullah, datang salah seorang ketua fraksi. Belum sempat sang ketua fraksi perbaiki posisi duduknya, menyusul salah satu utusan pimpinan fraksi lainnya lagi. Ni'matullah langsung menyahut. "Cocokmi karena kita sudah datang. Sepertinya langkah terbaik yang harus kita tempuh adalah kita tidak mengusulkan nama ke Kemendagri. Tapi nantilah di sebelah, di ruangan ibu ketua di hadapan semua pimpinan fraksi baru saya jelaskan."
Jelang masuk waktu magrib, para ketua fraksi sudah berada di ruangan ibu ketua DPRD. Penulis bersama wakil ketua, Ni'matullah juga sudah bergeser bergabung kembali ke ruangan ibu ketua. Sekedar menjelaskan saja bahwa ruangan kerja Ibu Ketua DPRD, Ina Kartika Sari dan Wakil Ketua, Ni'matullah bersebelahan saja.
Lantunan suara shalawat dari corong mesjid di sekitar kantor DPRD sudah bersahut-sahutan. Maka Ibu ketua DPRD langsung mempersilakan Ni'matullah membuka dan memimpin rapat. Ni'matullah pun tanpa basa-basi, setelah membaca Basmalah lalu menyampaikan salam pembuka rapat, to the point penyampaiannya. Kira-kira seperti ini; "Sepertinya tidak ada lagi kata mufakat, kita paripurna sebentar dan kita voting saja tapi kita tidak mengusulkan nama kepada Kemendagri".
Salah satu ketua fraksi yang sudah dua periode di DPRD Kabupaten dan baru naik ke DPRD Provinsi langsung minta waktu bicara. Pimpinan rapat Pak Ni'matullah, kemudian mempersilakan. Sang Ketua fraksi, memulai bicara dengan kalimat pembuka bernada menjelaskan apa yangg dimaksud Pak Ni'matullah.
"Teman-teman para pimpinan yang saya hormati. Penulis setuju apa yang disampaikan pimpinan DPRD tadi bahwa kita rapat paripurna saja sebentar dan kita voting jika forum paripurna quorum. Tapi jika tidak quorum tentu kita tidak bisa mengambil keputusan. Jalan ini kita tempuh selain untuk menjaga muruah lembaga DPRD yakni menjalankan mekanisme sebagaimana yang diatur di tatib juga yang jauh lebih penting adalah menjaga suasana kebersamaan di antara kita yang terdiri dari 9 fraksi dan 85 anggota dari 11 daerah pemilihan di Sulsel tidak boleh retak hanya karena kepentingan atau permintaan, atau mungkin sudah perintah yang kesemuanya kita tidak tau apa di balik itu".
Pimpinan fraksi yang lain pun setuju atas penjelasan tersebut dan bersepakat untuk melangkah pada agenda selanjutnya yakni menggelar Rapat Paripurna dengan Agenda: Penetapan Usulan Calon Pj Gubernur. Rapat pimpinan di ruangan ibu ketua DPRD selesai dan ditutup dalam tempo yang sesingkat-singkatnya oleh Pak Ni'matullah.
Selanjutnya masuk waktu magrib.
Usai salat magrib, beredar jugalah undangan rapat paripurna. Kali ini dua atau tiga pimpinan fraksi menelpon satu-satu anggota fraksinya bukan untuk mengundang menghadiri rapat paripurna tapi sebaliknya kali ini ketua fraksi tersebut "memberi perintah"; "tidak usah ke kantor ikut paripurna". Tentu anggota fraksi yang dihubungi heran dan bertanya, kenapa?. Kabarnya kata ketua fraksi ; "Jangan buat jadi kuorum rapat paripurna supaya tidak bisa kita mengambil keputusan melalui voting".
Rapat Paripurna Yang Tidak Paripurna:
Rapat Paripurna harus dilaksanakan tapi sengaja dikondisikan tidak memenuhi kuorum supaya tidak terjadi voting menentukan 3 (tiga) nama usulan PJ Gubernur ke Kemendagri.
Dikhawatirkan kalau voting di forum paripurna efeknya menjadi kurang bagus secara internal di DPRD. Menghindari ada perasaan saling tidak enak karena "secara regulasi tidak otomatis" juga nama yang diusulkan dari DPRD satu diantaranya absolut jadi PJ Gubernur. Betapa ruginya secara internal di DPRD jika telanjur ada gap psikologi. Rasa saling tidak enak satu sama lain sesama anggota, sementara calon yang diusulkan misalnya tidak jadi juga sebagai PJ Gubernur. Makanya "kesepakatan"nya mekanisme atau tahapan sebagaimana yang diatur tatib kita lewati tapi jangan ada keputusan di forum paripurna. Salah satu caranya jangan dibuat kuorum.
Rapat paripurna kali ini yang hasilnya sengaja dibuat tidak jadi paripurna jika dicari pembenarannya kira-kira tidak berlebihan kalau mengutip : penerapan kaidah fiqih yang berbunyi:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“Menghilangkan kemudharatan itu lebih didahulukan daripada Mengambil sebuah kemaslahatan.
Bisa dibayangkan, andaikan terjadi voting lalu mengerucut menjadi 3 (tiga) nama, akan ada rasa sakit dan rasa kecewa diantara para figur yang terjaring namanya sebagai calon Pj Gubernur, kalangan anggota DPRD, kalangan pimpinan fraksi, pimpinan DPRD, pimpinan parpol dst.
Perasaan kecewa dan sakit hati bisa datang dari figur yang tereliminasi namanya, tidak masuk 3 (tiga) besar. Secara manusiawi tentu akan muncul perasaan dan pikiran kecewa terhadap sahabat, teman dan kerabatnya yang ada di DPRD.
Perasaan kecewa dan sakit hati bisa datang dari anggota fraksi yang kebetulan berteman baik atau memiliki hubungan kekerabatan dengan figur yang terjaring namanya namun ternyata figur lain yang diajukan oleh fraksinya.
Perasaan kecewa dan sakit hati bisa datang dari ketua fraksi yang karena hubungan pertemanan dan atau bisa jadi karena pertimbangan lain sehingga berkeinginan mangajukan figur "A" tapi jelang injury-time tetiba figur lain selain dari "A" yang harus diajukan karena itu titipan petinggi partai dari Jakarta.
Perasaan sakit hati dan kecewa bisa datang dari fraksi pengusul nama figur yang tereliminasi karena figur usulan fraksinya tidak mendapatkan dukungan dari fraksi lain. Hal ini akan berpotensi memunculkan friksi antar fraksi. Menjaga suasana kebersamaan lintas fraksi jauh lebih berharga tinimbang mempertaruhkannya dengan hal-hal yang belum tentu juga "bernilai" bagi orang "Jakarta".
Bagaimana, andaikan potensi rasa kecewa dan sakit hati di atas diabaikan saja dengan tetap mengikuti "secara kaku" semua tahapan dan mekanisme sesuai tatib DPRD, memaksakan secara kelembagaan DPRD Provinsi Sulsel harus mengusulkan 3 (tiga) nama kepada Kemendagri, lantas nanti yang terjadi, nama figur yang keluar menjadi pemegang SK Presiden untuk amanah PJ Gubernur Sulsel sama sekali bukan salah satu dari tiga nama yang diusul oleh DPRD?
Pengalaman pada provinsi yang lain terdapat preseden seperti itu. Bahwa lain yang diusulkan oleh DPRD Provinsi, lain juga yang diusulkan oleh kemendagri. Namun di akhir muncul nama figur baru yang bukan dari DPRD tidak pula berasal dari usulan Kemendagri yang di SK-kan sebagai PJ Gubernur oleh Presiden.
Sekali lagi, rapat paripurna pada Selasa malam, 8 Agustus 2023, digelar tidak untuk mengambil keputusan memilih atau menetapkan 3 (tiga) nama usulan calon Pj Gubernur oleh DPRD akan tetapi rapat paripurna dilaksanakan semata hanya menjalankan tahapan dan mekanisme sebagaimana yang diatur dalam tatib DPRD.
Hal lain bagi kami di DPRD Sulsel tentang "kesepakatan" memilih untuk tidak mengusulkan nama calon PJ Gubernur kepada Kemendagri adalah semacam "interupsi" tentang tafsir dan atau terjemahan atas pertimbangan dalam : Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XX/2022, oleh Kemendagri dengan menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 04/2023 tentang Penjabat Gubernur, Penjabat
Bupati, dan Penjabat Wali Kota; bagi daerah (maaf, setidaknya bagi kami di DPRD Sulsel) bahwa bisa jadi belum bersesuaian sepenuhnya dengan semangat, harapan dan tujuan ide pencetus dan perumus "kalimat" dalam pertimbangan putusan MK.
Kaidah bahwa “apabila bertemu antara maslahat dan mafsadat, kebaikan dan kejelekan, atau saling berbenturan, maka wajib menimbang yang paling kuat di antara keduanya”. Jika maslahat yang hilang atau mafsadat yang terjadi lebih banyak, maka hal itu tidak diperintahkan. Dalam perspektif yang lain, sikap dan keputusan politik di DPRD didasarkan pada pemaknaan nilai "budaya sipakatau-sipakalebbi" diantara kami sesama anggota DPRD. Demikianlah kami menempatkan kebersamaan diantara kami yang inshaa Allah tidak mudah dikoyak dan digoyahkan. Maafkanlah jika kami keliru.
Selle Ks Dalle
Fraksi Partai Demokrat
Dapil Wajo-Soppeng
***