JAKARTA, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Ifa Sarifa (50) menjemur sisa nasi di atap gubuknya yang terbuat dari tripleks dan bambu, Senin 30 Oktober 2023. Cuaca Jakarta sedang terik-teriknya. Di aplikasi pada ponsel, cuaca DKI Jakarta khususnya di wilayah Jakarta Utara menunjukkan angka 34 derajat celcius. Terasa seperti 39 derajat karena panas yang menyengat.
Kami memilih duduk di tepi dipan di depan gubuk berukuran 3x4 meter. Menunggu Bu Ifa selesai menjemur nasi dan menjemur pakaian yang menumpuk di sebuah ember hitam.
Untuk menemui Bu Ifa dan suaminya Khalil (57), kami harus melewati gang-gang kecil yang jalannya mengeras karena kulit kerang. Ada kulit kerang yang masih utuh, ada juga pecahan-pecahan kulit kerang yang sudah menumpuk dan dibiarkan begitu saja selama bertahun-tahun.
Bau amis menyengat. Lalat beterbangan di mana-mana. Bercampur dengan aroma kerang yang direbus dan dikupas para perempuan pesisir.
Inilah Kampung Nelayan yang terletak di pesisir Muara Angke, Jakarta Utara. Rumah Bu Ifa hanya berjarak 50 meter dari pantai di mana perahu-perahu nelayan pencari kerang ditambatkan.
Saat air pasang datang, rumah-rumah di pesisir ini terendam air laut. Tingginya bisa sampai selutut bahkan sedada orang dewasa.
Pas melakukan wawancara, kami harus berpindah-pindah tempat. Pasalnya, air pasang datang dan sebagian gang-gang itu sudah terendam.
“Beginilah kalau air pasang, bisa terkepung air kami di sini,” ujar Bu Ifa. Bu Ifa mengaku sudah sangat biasa menghadapi air pasang yang datangnya tak pernah bisa diprediksi.
Bu Ifa adalah potret perempuan pesisir di Muara Angke. Ia bekerja sebagai pengupas kerang bersama anak-anak perempuannya. Bu Ifa tinggal di RT 6 RW 22 Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara.
“Saya sudah tinggal di sini sejak tahun 2003. Sejak menikah dengan Pak Khalil,” katanya. Pak Khalil adalah nelayan di Muara Angke yang kini menggantungkan kehidupan keluarganya dari kerang hijau yang dipanen di Teluk Jakarta.
Dari kerang yang diperoleh setiap hari, Bu Ifa bisa menghidupi lima putra-putrinya. Menyekolahkan buah hatinya meski dua dari anaknya memilih tidak melanjutkan pendidikan. “Yang laki tuh cuma sampai SD. Gak mau lagi sekolah,” katanya sedikit kecewa.
Menurut Bu Ifa, anak-anaknya bisa mengecap pendidikan dan terpenuhi kebutuhannya dari hasil penjualan kerang hijau. “Dua hari ini lumayan bisa dapat lima rebusan (lima drum, red). Sekitar Rp800 ribu lah kotor. Setelah dipotong biaya-biaya, bisa ada Rp 300 ribu yang dikantongi,” kata Bu Ifa. Itu pun belum untuk biaya harian seperti air bersih yang harus dibeli untuk pemakaian sehari-hari.
Sebenarnya uang yang diperoleh sehar-hari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga Bu Ifa. Malah bisa untuk nyicil motor. “Tuh motornya masih dicicil untuk anak laki,” kata Bu Ifa sambil menunjuk motor merk N-Max yang terparkir di depan rumah.
Bu Ifa mengaku punya banyak mimpi dan harapan akan kehidupan yang lebih baik bagi anak-anaknya. Di sisi lain, ia juga galau karena para nelayan Muara Angke kini dibayang-bayangi penggusuran karena adanya proyek NCICD atau National Capital Integrated Coastal Development.
“Gak ngerti lagi kalau harus digusur. Saya pindah ke sini karena di tempat lama digusur. Nah, sekarang kalau mau digusur lagi ya saya gak tau harus ke mana,” katanya.
Rumah-rumah seperti milik Bu Ifa memang nyempil di Utara Jakarta. Ribuan orang hidup di pinggiran pantai ini.
Mereka adalah keluarga-keluarga dari nelayan kecil tradisional yang mengalami dan mewarisi ingatan penggusuran paksa dari generasi ke generasi.
Bu Ifa dan perempuan lain di Muara Angke, kini harus berjuang lebih keras. Tidak hanya berjuang agar tak kena banjir dan air rob. Mereka juga berjuang agar setiap hari bisa mendapatkan air bersih, dan kini berjuang agar tak digusur atas nama pembangunan. Betapa hidup tenang dan sejahtera di Jakarta bagai mimpi bagi perempuan seperti Bu Ifa.
Tanggul Raksasa di Teluk Jakarta
Program National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) dikenal juga dengan proyek tanggul raksasanya.
Program ini terbagi ke dalam tiga fase: A, B, dan C. NCICD merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN) Presiden Joko Widodo.
Rencana awal, NCICD akan berujung pembangunan tanggul laut raksasa atau giant sea wall.
Saat ini, NCICD masih dalam fase A, yakni membangun dan memperbaiki sejumlah tanggul pantai dan muara sungai di pesisir DKI Jakarta. Ini suatu tahap yang mulus karena banyak pihak setuju. Masalah tanggul pantai ini dianggap mendesak.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dalam Rencana Pembangunan Daerah (RPD) DKI Jakarta 2023-2026, merencanakan pembangunan tanggul pantai sepanjang 22 km. Jika mengacu peta grafik NCICD milik Dinas SDA DKI Jakarta, total panjang tanggul yang sudah terbangun sepanjang 8.043 meter, yang terbagi ke dalam beberapa klaster: Marunda, Muara Baru, Pantai Mutiara Daratan, Muara Angke, Pluit, dan Pantai Indah Kapuk.
Kawasan RW 22, Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan berada dalam klaster Muara Angke, yang pembangunannya belum terealisasi karena mandek.
Kepala Dinas Sumber Daya Air DKI Jakarta, Yusmada Faizal seperti dilansir Project Multatuli (Yusmada kini sudah pensiun per 20 Juli 2023) mengatakan, pembangunan tanggul klaster Muara Angke baru akan dilanjutkan tahun 2024. Panjangnya 185 meter, disusul tahun berikutnya dengan panjang 429 meter. Rencana ini telah tertulis dalam Rencana Strategis Dinas SDA DKI Jakarta 2023-2026.
Pada dasarnya, warga RW 22 tidak keberatan dengan rencana pembangunan tanggul. Namun, mereka menolak apabila pembangunan NCICD malah akan menggusur permukiman, khususnya permukiman nelayan.
Khalil satu diantara sekian nelayan yang vokal dan kerap ikut demonstrasi menolak proyek NCICD. “Saya sejak 2014 menolak keras proyek NCICD ini. Menurut peta denahnya, wilayah ini kena. Digusur dulu trus dipasang tanggul. Nanti katanya ada rumah susun tapi mereka lagi nyari di mana lokasinya. Harusnya kan mereka mengundang semua yang terdampak. Saya tidak mau ada diskriminasi,” kata nelayan yang sudah bermukim di Muara Angke selama 30 tahun lebih.
Benteng Terakhir Nelayan Kecil
Penggusuran paksa adalah sesuatu yang akrab sekaligus ditakuti warga RW 22. Mereka punya sejarah kolektif tentang penggusuran sejak tahun 1970-an.
Sulaiman (61) adalah saksi hidup yang mengalami berbagai gejolak sejak 1970-an.
Nelayan-nelayan kecil di Muara Angke katanya, sebenarnya datang dari berbagai wilayah Jakarta dan luar Jakarta.
Mereka adalah nelayan yang hidup dari laut. Maka, apapun dilakukan asal bisa tinggal dan bermukim berdekatan dengan laut.
Dari catatan sejarah, proses penggusuran sudah dimulai pada penggusuran Ancol di akhir 1960-an. Lalu nelayan pergi ke barat ke Muara Karang. Tahun 1977, ada dua momen besar yang menandai kepindahan mereka jauh lebih ke barat ke Muara Angke: Pembangunan pembangkit listrik di Muara Karang yang berujung ke penggusuran, dan peresmian Muara Angke sebagai pusat perikanan tradisional Jakarta.
Muara Angke lebih luas dari RW 22. Di peta satelit, Muara Angke berbentuk seperti U, seperti pulau sendiri. Presiden Soeharto dulu menjadikan wilayah ini sebagai kampung nelayan, lengkap dengan pelelangan ikan pada 1977.
Sampai sekarang Muara Angke menjadi pusat perikanan Jakarta dengan nilai produksi dan perdagangan yang fantastis.
Di dermaga kecil Kali Adem yang dibangun Dinas Perikanan DKI Jakarta, tidak hanya ada perahu-perahu kecil para pencari kerang. Di antara perahu-perahu kecil itu di laut yang lebih dalam ada kapal-kapal pencari ikan, udang dan cumi yang dikuasai pengusaha besar.
Bisa dipastikan, nelayan-nelayan kecil di RW 22 hanya mendapatkan remah-remah dari Teluk Jakarta ini. Meski remah dan kecil, toh mereka tetap enggan pindah. Dari remah-remah itulah mereka hidup. “Kalau memang ada program pemerintah ya kita gak bisa melarang. Asal kami di sini tidak dihilangkan,” tegas Sulaiman.
Proyek raksasa atas nama pembangunan itu kini menebar ketakutan. Melumat mimpi warga pesisir, dan membunuh cita-cita dan harapan. ***