Diminta Kawal Masyarakat Kuasai Lahan, Pemkab Bulukumba Anggap Perda Adat Tak Bisa Jadi Dasar

  • Bagikan
Muhammad Nur (kanan), Andi Ayatullah Ahmad (kiri)

BULUKUMBA, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Pemerintah serta aparat keaman diminta agar mengawal masyarakat adat Kajang dalam melakukan penguasaan objek tanah yang sebelumnya dikuasai oleh PT.Lonsum.

Muhammad Nur yang mengaku sebagai kuasa hukum masyarakat adat Kajang meminta agar PT.Lonsum meninggalkan tanah yang hari ini dianggap sebagai tanah masyarakat.

Menurut Nur, pasca berakhirnya Hak Guna Usaha (HGU) per 31 Desember 2023, PT.Lonsum sudah tidak berhak melakukan pengelolaan lahan perkebunan karet di empat kecamatan di Kabupaten Bulukumba termasuk di Kecamatan Kajang dan sekitarnya.

"Tidak ada lagi yang bisa kita tuntut, yang sekarang adalah melakukan penguasaan objek. Karena sudah tidak ada hak PT Lonsum setelah HGUnya berakhir per 31 Desember 2023," ungkap Nur saat dikonfirmasi RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID, pada Sabtu, 6 Desember 2024.

"Kami meminta pemerintah dan aparat pengamanan mengawal masyarakat untuk melakukan penguasaan objek. Dan itu yang benar," lanjutnya.

Nur mengibaratkan orang yang mengontrak rumah. Apabila masa kontraknya berakhir maka pengongrak sudah tidak memliki hak atas rumah, sementara pemilik rumah berhak mengambil alih kembali rumahnya.

"Kita tidak lagi bicara konsep premanisme atau tipu muslihat, kita berbicara aturan hukum. Nah aturan hukumnya kalau orang kontrak dan habis kontraknya masih bisa tidak dia tinggal di tempat kontrakan, kan tidak bisa," terangnya.

Nur menyatakan setelah HGU Lonsum berakhir, secara otomatis masyarakat adat memiliki hak dan kewenangan untuk mengambil alih tanah adat. Menurutnya itu berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 tahun 2015.

Nur menuding bahwa selama ini Lonsum tidak hanya menguasai tanah berdasarkan HGU tetapi lebih dari itu Lonsum juga menguasai tanah adat.

"Dugaan kami bahwa Lonsum tidak hanya menguasai 5 ribu sekian hektare, tetapi lonsum juga menguasai tanah adat itu 11 ribu sekian hektare,"

Jadi, kata Nur, ada sekitar 6 ribu hektare tanah masyarakat adat yang dikuasai Lonsum di luar dari HGU. Namun ia mengakui bahwa data yang disampaikan itu tidak berdasarkan hasil pengukuran.

"Jadi 6 ribu itu adalah dugaan kuat karena kami juga tidak pernah mengukur. Ini dugaan kuat karena berdasarkan jumlah wilayah yang dikuasai Lonsum, dari empat kecamatan itu jumlah wilayahnya itu kita ukur berdasarkan dengan penguasaan dengan jumlah HGU itu berbeda. Itu," paparnya.

"Kami meminta BPN Bulukumba dan BPN wilayah Sulsel tidak lah telah melakukan pengukuran dan tidak mengakomodir proses perizinannya Lonsum," pinta Nur yang katanya mewakili masyarakat adat.

Perda Adat Bukan Dasar untuk Kuasai Lahan

Nur yang menjadikan Perda Masyarakat Adat sebagai landasan untuk melakukan penguasaan lahan turut ditanggapi oleh pihak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bulukumba.

Pemkab melalui Kabid Humas Diskominfo Bulukumba, Andi Ayatullah Ahmad, menyatakan bahwa Perda Bulukumba Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Kajang, bukanlah dasar untuk menguasai lahan apalagi dijadikan bukti kepemilikan atas tanah.

"Perda tersebut merupakan bentuk pengakuan dan perlindungan daerah kepada Masyarakat Hukum Adat Ammatoa dalam hal budaya dan pelestarian lingkungan, dan tidak mengatur mengenai HGU ataupun kewenangan Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang dalam hal persetujuan dalam penerbitan HGU," jelas Andi Ayatullah.

Menurut Andi Ayatullah, masyarakat Hukum Adat Ammatoa juga tidak pernah diberikan hak pengelolaan atas tanah negara, meskipun dimungkinkan untuk mengelola tanah ulayat.

"Namun jika ingin mengelola tanah ulayat terlebih dahulu harus didaftarkan di Kantor Pertanahan kemudian ditetapkan sebagai tanah ulayat barulah status tanah adat dapat diakui secara hukum," terangnya.

Andi Ayatullah juga menjelaskan berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) 18 tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, Dan Pendaftaran Tanah, proses pembaharuan HGU yang dapat diajukan paling lama dua tahun setelah berakhirnya masa HGU.

Selanjutnya, secara teknis diatur dalam Peraturan Menteri ATR/BPN, Nomor 18 Tahun 2021, Pasal 63 menjelaskan siklus HGU yaitu diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 tahun, diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun dan diperbarui untuk jangka waktu paling lama 35 tahun.

Serta, pada Pasal Pasal 71 dijelaskan mengenai Pembaharuan HGU di mana setelah jangka waktu HGU dan/atau perpanjangannya berakhir, Pemerintah memberikan pembaharuan HGU di atas bidang tanah yang sama kepada pemegang HGU. 

"Intinya tidak ada hubungan antara izin HGU Lonsum saat ini dengan Perda Perlindungan Masyarakat Hukum Adat Ammatoa Kajang," kunci Andi Ayatullah Ahmad. ****

  • Bagikan