Pernahkah kita merasa takut? jawabannya pasti semua manusia memiliki rasa takut. Lalu siapa yang kita takuti? Menjawabnya akan bergantung pada siapa yang ditanyai? Jika ia adalah seorang karyawan, maka kita pasti takut kepada atasan yang punya kuasa membuat kita kehilangan pekerjaan. Jika ditanyakan pada pengusaha, maka rugi menjadi bagian dari hal yang paling ditakutkan. Namun, ada orang bersalah tidak merasa takut dikarenakan dia punya ‘bekingan’ yang bisa membantunya.
Oleh: Andi Muhammad Asbar, Dosen STAI Al-Gazali Bulukumba
Rasa takut yang ada pada diri manusia, lazimnya akan membuat kita untuk bertindak hati-hati. Akan tetapi kehidupan ini penuh dengan misteri, seperti gempa bumi, tsunami, gunung meletus, kematian, dan lainnya. Perkara ini terjadi di luar nalar manusia, sehingga menciptakan ketakutan hebat. Manusia mungkin, akan menjadi pasrah atau penuh dengan harapan.
Sahabat Nabi bernama Umar bin Khattab, pernah membaca Surah At-Tur ketika sampai di ayat ketujuh, inna ‘azaaba rabbika lawaaqi’ (sungguh, azab Tuhanmu pasti terjadi), lalu ia menangis tersedu-sedu dan jatuh sakit, serta dijenguk oleh banyak orang. Umar berkata kepada putranya saat menghadapi kematian, ‘Letakkanlah pipiku di atas tanah. Barangkali Allah menaruh belas kasih kepadaku’ Umar lalu berkata lagi, ‘Celakalah kalau Allah tidak mengampuni aku.’
Jika seorang khalifah seperti Umar bin Khattab saja takut akan dosa yang tidak terampuni, lantas mengapa kita (manusia) tetap percaya diri dengan segala kelalaian yang pernah diperbuat, dan segera memohon ampunan pada yang Maha Pemberi Ampunan.
Rudolf Otto berkata Mysterium Tremendum et Fascinosum sebagai bagian dari pengalaman batin manusia yang bersifat transendental dan tidak rasional. Pertama, mysterium tremendum, yaitu perasaan akan sesuatu yang misterius, luar biasa, dan menakutkan yang menimbulkan dalam diri kita perasaan kecil, rendah hati, tunduk. Hal inilah yang dialami oleh Khalifah Umar atas ketakutan hebat yang membuatnya menangis dan jatuh sakit, takut dosanya tidak diampuni.
Juga yang pernah disampaikan oleh Abu Nawas dalam syair I’tiraf;
Ilaahii lastu lil firdausi ahlaan, wa laa aqwaa 'alaa naaril jahiimi (Wahai Tuhanku ! Aku bukanlah ahli surga, tapi aku tidak kuat dalam neraka jahim") Fa hablii taubatan waghfir zunuubii, fa innaka ghaafirudzdzambil 'azhiimi (Maka berilah aku taubat (ampunan) dan ampunilah dosaku, sesungguhnya engkau Maha Pengampun dosa yang besar)
Sama halnya, dengan dorongan iman pada umat Islam yang menjalani ritual puasa ramadan sebagai usaha penebusan dosa, atau secara tidak sadar air mata kita keluar membasahi pipi, dan berjatuhan ke sajadah saat memohon ampunan kepada Allah. Sebabnya, kita ini kecil di hadapan kebesaran Allah, juga karena ancaman neraka di akhirat kelak. Sehingga segala upaya dilalui, agar belas kasih Tuhan turun memaafkan kita.
Kedua, adalah mysterium fascinans, yang mana perasaan akan sesuatu yang menarik, diinginkan, atau dirindukan oleh manusia. Salah satu bentuk kerinduan itu, saat bibir kita mengucapkan “Allâhumma bârik lanâ fî rajaba wasya'bâna waballighnâ ramadlânâ” (Duhai Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan bulan Sya'ban, dan pertemukanlah kami dengan bulan Ramadlan).
Kalimat di atas adalah penyataan kerinduan pada bulan suci Ramadan, yang diyakini menjadi instrumen dalam mendekatkan diri kepada Allah. Maka berbahagialah, karena harapan kita bertemu ramadan tahun ini terkabulkan, olehnya itu jangan disia-siakan.
Bahagia pula bagi mereka yang bisa merasakan kehadiran Tuhan dalam setiap ibadah yang dijalani, bulu roma berdiri tanpa rasa takut, yang ada adalah hati jadi lapang, serta rasa haru dan bahagia setelah menyapa tuhan dalam setiap aktivitas ibadah dan wirid sepanjang waktu. Seraya berharap agar maksud baik terkabulkan di hari-hari mendatang, ujian kehidupan bisa dilalui, dan keberkahan hidup terus diperoleh. ****