Makassar New Port, Proyek Raksasa yang Menghilangkan Hak Masyarakat Pesisir dan Memiskinkan Nelayan Perempuan

  • Bagikan

MAKASSAR, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID – Presiden Joko Widodo baru saja meresmikan pelabuhan baru di Kota Makassar Provinsi Sulawesi Selatan. Namanya Makassar New Port (MNP). Peresmian MNP dilakukan Jokowi pada 23 Februari 2024. Di momen International Women Day hari ini Jumat 8 Maret 2024, kami angkat kembali perjuangan perempuan pesisir yang tergerus dengan hadirnya pelabuhan baru bernama Makassar New Port.

MNP ini mengupgrade pelabuhan lama dari kapasitas 750Ribu menjadi 2.5 Juta TEUs per tahun. MNP menjadi pelabuhan dengan kapasitas terbesar setelah Tanjung Priok Jakarta.

Peresmian dilakukan oleh Presiden Joko Widodo yang hadir bersama para Menteri seperti Menteri BUMN Erick Thohir, Menteri Perhubungan Budi Setiyadi, dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono.

Jokowi menyebut bahwa Makassar New Port menjadi pelabuhan terbesar setelah Tanjung Priok di Jakarta.

Toh keberadaan MNP ini tidak melulu menjadi kabar baik bagi masyarakat pesisir yang sudah lama hidup dan menggantungkan kehidupannya pada laut.

Sejak awal rencana pembangunan mega proyek MNP, para nelayan pesisir di kawasan tersebut menolak dan melakukan aksi protes.

Bahkan saat peresmian pun sejumlah perempuan nelayan melakukan unjuk rasa terhadap peresmian pelabuhan Makassar New Port (MNP) oleh Presiden Jokowi di depan Gardu Induk PLN Tallo.

Penolakan terhadap pembangunan Pelabuhan MNP sebenarnya sudah dilakukan bertahun-tahun lalu. Tepatnya pada  tahun 2017 oleh perempuan pesisir bersama nelayan tradisional di Kelurahan Cambaya, Buloa, Tallo, Makassar.

Aksi protes tersebut dikarenakan aktivitas pembangunan telah menghilangkan mata pencaharian nelayan, sumber pangan perempuan, pencemaran lingkungan, lumpur dampak dari transportasi alat-alat berat, sampah hingga limbah minyak.

Tidak hanya itu proyek MNP juga melahirkan ketimpangan sosial, ekonomi, dan ketimpangan gender.

Lebih mengenaskan lagi karena sejumlah perempuan nelayan yang melakukan aksi terhadap penolakan peresmian Pelabuhan Makassar New Port, mendapatkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan dengan mengambil secara paksa sejumlah poster yang dibentangkan oleh perempuan nelayan.

Ramlah, perempuan pesisir yang selama ini bersuara keras pada keberadaan MNP mengatakan sebelum adanya Makassar New Port, pekerjaan suaminya sebagai nelayan berjalan sangat baik. Kebutuhan keluarganya bisa terpenuhi dan tercukupi.

Namun setelah hadirnya MNP, mata pencaharian suami dan dirinya tergeser. Bahkan untuk mengakses air bersih saja mereka kesulitan. “Memang dulu pihak Pelindo sempat datang ke kami tapi hanya untuk tanya-tanya. Tidak ada solusi sampai sekarang. Awalnya kami dijanjikan air bersih ternyata tidak ada air bersih untuk nelayan,” ungkapnya.

Ramlah berharap tidak ada pembangunan maupun reklamasi yang mengubur mimpi-mimpi mereka. “Kami hanya mau pemulihan hak. Kami tidak butuh CSR,” tegasnya.

Bagi para nelayan, menyuarakan kegelisahan mereka pun kini nyaris tak mampu lagi. Saat aksi unjuk rasa di momen peresmian MNP, sejumlah nelayan diintimidasi.

Situasi ini menurut Ifha dari Solidaritas Perempuan Anging Mammiri merupakan bentuk pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi dan berpendapat di depan umum sebagaimana dijamin oleh Undang-Undang. “Sampai hari ini ada 150 perempuan nelayan masih terus berjuang mempertahankan ruang kelolanya di pesisir yang terdampak proyek MNP. Pelanggaran hak perempuan telah diadukan kepada Komnas HAM dan Komnas Perempuan Republik Indonesia, namun belum ada titik terang penyelesaian konflik yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak perusahaan,” papar Ifha. Menurutnya, berbagai upaya telah ditempuh perempuan pesisir dan nelayan tradisional dalam mencari keadilan atas ruang hidup mereka di pesisir. Termasuk  bertemu dengan pihak perusahaan (Pelindo), berdialog dengan pemerintah Gubernur Sulsel, Pemerintah Kota Makassar, Komisi E, Komisi B, Komisi C, Sekretaris DPRD Provinsi Sulsel.

Dalam berbagai ruang dialog Perempuan pesisir dan nelayan tradisional menyampaikan tuntutannya yakni mendesak pemerintah dan perusahaan memulihkan hak ekonomi dan pemulihan hak atas lingkungan. Bahkan RDP yang dilakukan pada tanggal 24 Januari 2023, pemerintah DPRD dan Perusahaan PT. Pelindo IV bersepakat untuk bersama-sama ke Jakarta bertemu dengan PT.Pelabuhan Indonesia membicarakan persoalan ini.

Namun lagi-lagi Komisi B beserta pihak perusahaan mengabaikan hasil kesepakatan tersebut. “Komisi B bertemu dengan PT.Pelabuhan Indonesia di Jakarta tanpa melibatkan perwakilan perempuan dan nelayan,” kata Ifha yang tak bisa menyembungikan kekecewaannya.

Ketidakpatuhan atas hasil RDP dan ketidakseriusan pemerintah menyelesaikan persoalan perempuan disebutnya sebagai pengabaian terhadap hak-hak perempuan.

Terlalu banyak kerugian yang dialami masyarakat khususnya perempuan nelayan. Aktivitas reklamasi Pembangunan Pelabuhan MNP berdampak pada hilangnya pekerjaan perempuan pencari kerang, kanjappang dan mengurangi pendapatan nelayan tradisional. Perempuan harus bekerja dan berpikir ekstra untuk tetap memenuhi kebutuhan keluarga. Terlebih karakteristik laut yang diidentikkan dengan maskulinitas, seringkali dianggap sebagai ranah yang tidak mungkin menjadi wilayah kelola perempuan.

Akibatnya perempuan tidak pernah dilibatkan dalam proses konsultasi, tidak diakui identitas sebagai nelayan meski secara turun temurun memanfaatkan pesisir sebagai ruang kelola. Perempuan nelayan tidak menerima program pemberdayaan, kartu asuransi nelayan sementara mereka beraktivitas di laut sama seperti nelayan laki-laki.

Menurut Suriani, Ketua SP Anging Mammiri, skema Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagai Upaya Sentralisasi Pengelolaan Sumber Daya Alam, melalui Peraturan Presiden Nomor 109/2020  merupakan aturan yang berorientasi pada pembangunan ekstraktif dan infrastruktur. Rentetan persoalan agraria dan lingkungan hidup timbul akibat PSN sehingga berdampak buruk pada kehidupan rakyat. Salah satunya Proyek Pelabuhan Makassar Newport (MNP) yang telah memiskinkan perempuan pesisir dan nelayan tradisional di pesisir Makassar. “Peresmian pelabuhan MNP oleh Presiden Joko Widodo, bentuk nyata pengabaian negara terhadap pemenuhan dan perlindungan hak asasi perempuan pesisir dan nelayan tradisional. Aksi penolakan dan protes yang disuarakan oleh perempuan pesisir merupakan bentuk kekecawaan dan kemarahan perempuan nelayan yang selama ini memperjuangkan hak atas ruang lautnya. Kami mengecam segala bentuk intimidasi dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan dengan dalih apapun. Menyampaikan pendapat di depan umum adalah hak setiap warga negara, termasuk perempuan nelayan,” tegas Suryani, Ketua Badan Eksekutif Komunitas SP Anging Mammiri. (sunarti sain)

  • Bagikan