Uang, Takdir, dan Moralitas dalam Kontestasi Politik: Kritik terhadap Pernyataan Sentimentil

  • Bagikan
Muhammad Aswad, Ketua Bidang Kaderisasi Bulukumba

Dalam dinamika politik, retorika sering digunakan untuk menarik simpati publik dan menegaskan posisi moral seseorang. Salah satu pernyataan yang muncul dalam konteks politik lokal di Bulukumba adalah: "Mungkin kamu punya banyak uang, tapi takdir kami tak bisa kamu beli." Pernyataan ini jelas ditujukan kepada seorang calon yang dianggap sebagai orang kaya, dengan insinuasi bahwa kekayaan digunakan untuk mempengaruhi hasil pemilihan. Meskipun pernyataan ini mungkin dimaksudkan untuk mengkritik ketidakadilan dalam proses politik, pernyataan tersebut mengandung kesalahan logis dan moral yang perlu dikritisi dari sudut pandang filsafat dan ajaran Islam.

Oleh: Muhammad Aswad, Ketua Bidang Kaderisasi PKS Bulukumba

Kesalahan Logis dalam Asumsi tentang Uang dan Takdir

Secara logis, pernyataan ini memisahkan uang dan takdir seolah-olah keduanya berada dalam dualitas yang mutlak: uang di satu sisi, takdir di sisi lain, dengan asumsi bahwa yang satu tidak bisa mempengaruhi yang lain. Namun, dalam realitas kehidupan, hubungan antara uang dan takdir tidaklah sederhana.

Filsafat mengajarkan bahwa uang adalah salah satu alat dalam kehidupan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan tertentu, termasuk tujuan politik. Uang memang tidak dapat membeli "takdir" dalam arti metafisik yang absolut, tetapi ia memiliki peran signifikan dalam membentuk peluang dan kemungkinan dalam kehidupan seseorang. Dalam politik, uang dapat digunakan untuk mendanai kampanye, memperluas jaringan, dan menyampaikan pesan kepada pemilih. Sementara itu, takdir—dalam pengertian yang lebih luas—terdiri dari hasil interaksi kompleks antara usaha manusia, kondisi sosial, dan ketentuan Allah.

Dengan demikian, pernyataan ini gagal mengakui kompleksitas hubungan antara uang dan hasil dari usaha manusia, yang dalam politik, bisa dilihat sebagai bagian dari "takdir" seorang kandidat. Dengan menolak peran uang secara mutlak, pernyataan tersebut menyederhanakan realitas dan menyesatkan publik dalam memahami dinamika politik yang sebenarnya.

Dampak Moral dari Retorika Sentimentil

Menggunakan retorika yang sentimentil dan menyerang pribadi dalam konteks politik tidak hanya berpotensi menyesatkan publik, tetapi juga merusak tatanan moralitas publik. Ketika seorang calon diserang bukan berdasarkan kinerjanya atau ide-idenya, tetapi karena kekayaannya, hal ini merendahkan diskursus politik dan mengalihkan perhatian dari isu-isu substantif yang seharusnya menjadi fokus dalam pemilihan.

Politik seharusnya menjadi arena pertarungan ide-ide dan kebijakan, bukan ajang untuk mempermainkan emosi rakyat dengan retorika yang tidak berdasar. Menuduh seseorang menggunakan kekayaannya untuk membeli suara rakyat tanpa bukti yang jelas tidak hanya menciptakan polarisasi di antara pemilih, tetapi juga merusak integritas proses demokrasi.

Takdir Politik dan Perubahan dalam Perspektif Al-Qur'an

Dalam perspektif Al-Qur'an, takdir politik dan sosial adalah bagian dari ketentuan Allah yang bisa mengalami perubahan berdasarkan usaha dan doa umat. Allah SWT berfirman dalam surah Ar-Ra'd ayat 11: "Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri." Ayat ini menunjukkan bahwa perubahan dalam masyarakat, termasuk dalam aspek politik, dapat terjadi jika ada usaha dan perubahan dari dalam diri masyarakat itu sendiri.

Pernyataan yang menegaskan bahwa takdir tidak dapat dipengaruhi oleh uang berlawanan dengan prinsip ini, karena ayat tersebut menunjukkan bahwa perubahan dapat terjadi melalui usaha dan ikhtiar manusia. Uang, dalam konteks ini, bisa menjadi salah satu alat yang digunakan dalam usaha tersebut, meskipun bukan satu-satunya faktor.

Kesimpulan

Pernyataan "Mungkin kamu punya banyak uang, tapi takdir kami tak bisa kamu beli" mengandung banyak kekeliruan, baik dari sudut pandang filsafat maupun Islam. Ia gagal memahami hubungan kompleks antara uang, usaha manusia, dan takdir, serta mengandung muatan tendensi yang tidak adil dan berpotensi merusak moralitas publik. Dalam konteks politik, sangat penting untuk menjaga integritas dan keadilan dalam ucapan dan tindakan, serta menghindari retorika yang menyerang pribadi seseorang tanpa dasar yang kuat. Hanya dengan demikian, kita bisa membangun tatanan politik yang lebih sehat dan adil, sesuai dengan prinsip-prinsip etika dan ajaran Islam.***

Catatan: Tulisan ini adalah sebuah opini dari penulis, apapun isi opini adalah tanggung jawab penuh dari penulis.

  • Bagikan