BULUKUMBA, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID — Kabupaten Bulukumba memang tak pernah kehabisan kisah atau legenda. Ada banyak cerita turun temurun yang masih dituturkan dan menjadi kekayaan daerah ini. Pariwisata tidak hanya soal kekayaan alam seperti laut dan pegunungan. Kekayaan histori atau kesejarahan juga budaya menjadi salah satu kekuatan sebuah daerah wisata.
Di hampir semua desa di Bulukumba, tentu memiliki sejarahnya sendiri yang menarik untuk dieksplore. Salah satunya di Desa Salassae, Kecamatan Bulukumpa, Kabupaten Bulukumba. Kali ini kita akan membahas keberadaan salah satu cagar budaya yang ada di Desa Salassae yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan nama batu tujua atau Batu Pallantikang atau tujuh batu bersejarah di Bulukumba.
Meski zaman terus berkembang, era teknologi makin canggih, namun hal itu tak membuat budaya dan sisa-sisa peradaban masa lampau ikut tergerus atau bahkan ditelan bumi.
Selama beratus tahun lamamya, eksistensi Batu Pallantikang terus terjaga. Ia telah mengawal berbagai generasi melewati banyak masa dan peristiwa. Lebih jauh lagi menyelami histori. Batu Pallantikang merupakan salah satu saksi tautan penting perjalanan sejarah Bulukumba di ujung jazirah Sulawesi Selatan.
Nama Batu Tujua yang artinya ‘tujuh batu’ kini menjadi nama dusun yang merupakan lokasi tujuh batu bersejarah ini. Diambil dari situs cagar budaya Batu Tujua atau Batu Pallantikang.
Kepala Desa Salassae, Gito Sukamdani, menceritakan pada abad-abad lalu, tujuh batu bersejarah ini menjadi tempat pelantikan raja-raja kecil atau gallarang dalam wilayah Bulukumpa Toa.
Hingga hari ini ruang-ruang tradisi leluhur yang erat merangkul histori itu masih ada. Batu Pallantikang tetap dijadikan sebagai tempat pelantikan, musyawarah, hingga kegiatan budaya untuk menyelamatkan benteng tradisi dan kearifan lokal.
“Salah satu bentuk musyawarah warga desa yang dinamakan ‘Akkimbolong Ri Salassa’ juga biasa dihelat di tempat ini,” kata Gito, Sabtu 5 Maret 2022.
Terletak di dekat bantaran sungai, batas Desa Salassae Kecamatan Bulukumpa dengan Desa Bonto Haru Kecamatan Rilau Ale, kawasan ini merupakan situs budaya Bulukumpa Toa yang sangat menarik.
Cagar budaya ini juga kerap dijadikan warga khususnya para petani dan peternak untuk duduk bersama menghimpun ide dan pemikiran dalam mewujudkan cita-cita kesejahteraan bersama.
Dengan kesadaran yang tumbuh subur secara kolektif, para warga lebih dari sekadar membangun sebuah link ingatan sejarah untuk setiap generasi.
Melalui bentuk-bentuk kegiatan tradisi yang rutin, mereka berupaya tetap membentangkan narasi Bulukumpa Toa dengan caranya sendiri. Sebuah narasi sejarah kerajaan pada zaman dahulu ketika wilayah-wilayah di Bulukumba dipimpin oleh para gallarang. Pelantikan kepala dusun pun dihelat di cagar budaya Batu Pallantikang.
Gito mengatakan bahwa Desa Salassae selalu berupaya merangkul erat histori pemerintahan di masa silam, bahkan pelantikan kepala dusun ditempatkan di cagar budaya Batu Tujua. “Pada April 2021 misalnya, saya melantik seorang kepala dusun di tempat ini,” ujarnya. ***
REPORTER: RAKHMAT FAJAR