BULUKUMBA, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Perempuan dan kebaya di acara Syukuran Kopi Kahayya yang kini diberi nama "Senandung Kopi Kahayya" menjadi ciri khas yang selalu ditampilkan setiap tahun. Terutama pada ritual songkabala yang digelar sore hari menjelang magrib. Seperti tampak pada Jumat 7 Oktober 2022 lalu, puluhan perempuan Desa Kahayya berbaris rapi mengenakan kebaya warna-warni dengan bawahan sarung batik. Di atas kepala mereka ada penutup kepala yang disebut tippolok. Para perempuan desa menjujung baki yang berisi makanan tradisional khas Desa Kahayya. Ada onde-onde, cucur, baje (wajik) dll.
Dengan anggun mereka menyusuri bukit menuju puncak Kale Tabuakkang di mana acara songkabala dipusatkan.
Bagi perempuan Desa Kahayya, kebaya adalah pakaian 'kebesaran' yang sudah dikenal sejak dulu. Kebaya hanya dikenakan pada saat ada acara khusus seperti hajatan perkawinan, syukuran dll. Karena itulah di perayaan pesta panen kopi atau syukuran kopi Kahayya, perempuan Kahayya memilih mengenakan kebaya sebagai penghormatan dan melestarikan tradisi di desa itu.
Ketua Panitia Senandung Kopi Kahayya 2022 Nurmaidah Mansyur mengungkapkan, pilihan mengenakan kebaya bagi perempuan di acara syukuran sebenarnya berawal dari hasil diskusi dengan seniman Bulukumba, Ichdar YN Al Farabi.
"Kebetulan pada SKK I dan II saya belum terlibat. Baru di perhelatan SKK III tahun 2018 saya ikut menjadi panitia. Saya ingat betul waktu itu Kak Ichdar YN Alfarabi bertanya pakaian adat di Kahayya. Saya bingung karena di Kahayya Kindang tidak seperti Toraja yang punya baju adat khusus. Yang saya ingat pakaian nenek (ibu dari bapak) dari dulu hanya "Kebaya". Yana mana Kebayanya dipadukan dengan sarung batik, atau di kampung kami di sebut "palikang". Ada juga penutup kepala yang disebut "tippolok". Akhirnya saya mengusulkan ke Kak Ichdar waktu itu agar perempuan mengenakan kebaya. Sempat ragu tapi karena Kak Ichdar adalah orang seniman dan paham akan budaya di Indonesia jadi saya rasa soal kebaya beliau tidak akan menolak," urai Indah kepada RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID.
Akhirnya, Indah mulai membongkar lemari di rumahnya dan menemukan pakaian kebaya yang kerap dikenakan sang nenek. "Kebaya Amoku (almarhumah nenek) masih ada. Kebaya yang sudah mulai usang dimakan waktu itu saya kumpulkan kemudian dipinjamkan ke ibu-ibu desa. Ternyata hampir semua perempuan di desa punya kebaya peninggalan orang tua mereka," jelas Indah.
Ia menambahkan, kebaya peninggalan leluhur mereka sudah usang dan nyaris tidak bisa dipakai lagi. "Sejak Senandung Kopi Kahayya (SKK) III mulailah dipatenkan para perempuan mengenakan kebaya dan sarung. Hal itu dipertahankan hingga kini dan menjadi kekhasan tersendiri. Minat berkebaya seperti nenek kami zaman dulu pun sudah mulai muncul kembali. Bahkan beberapa sudah pengen menjahit kebaya untuk dijadikan pakaian seragam pada syukuran kopi yang akan datang. Saya selalu bangga dengan ibu-ibu Kahayya khususnya di dusun Tabbuakang yang bisa diajak bekerjasama mengenakan kebaya untuk kesuksesan perayaan pesta panen kopi," tandas Indah. (nad)