Hentikan Sementara Semua PPLN, PSU Kuala Lumpur Diambil Alih KPU Pusat

  • Bagikan
Ketua KPU Hasyim Asyari tengah bersama anggota KPU August Mellaz kiri, dan anggota KPU Yulianto Sudrajat kanan saat keterangan pers di Gedung KPU RI, Jakarta, Selasa (27224). (Foto Dwi PambudoRM)

RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) memberhentikan sementara tujuh atau seluruh anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) Kuala Lumpur, Malaysia.
Ketua KPU Hasyim Asy’ari menjelas­kan alasan pemberhentian sementara seluruh anggota PPLN Kuala Lumpur (KL), Malaysia. Menurutnya, masalah tata kelola pemilu terkait pendataan pemilih yang mengakibatkan pemungutan suara metode pos dan Kotak Suara Keliling (KSK) harus diulang.
Sebagai gantinya, kata Hasyim, pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) di Kuala Lumpur akan diambil alih oleh KPU Pusat. Nantinya ada beberapa anggota yang akan ditugaskan ke Kuala Lumpur. Kemudian didukung oleh tim Sekretariat Jenderal KPU.


“Insya Allah kami akan berkoordinasi dengan kantor perwakilan di Kuala Lumpur,” ujar Hasyim dalam keterangan­nya, Selasa (27/2/2024).
Hasyim mengatakan, KPU telah melakukan rapat dengan Kementerian Luar Negeri (Kemlu) untuk melakukan PSU di Kuala Lumpur, Malaysia. Kemlu, kata Hasyim, akan memberikan dukungan kepada KPU.
“Cara PSU yang akan dilakukan di Kuala Lumpur tetap menggunakan Tempat Pemungutan Suara Luar Negeri (TPS), ditambah KSK dari rumah ke rumah,” jelasnya.


Menurut Hasyim, selama PSU khusus­nya KSK, pemilih akan difoto wajah dan kartu identitasnya. Hal itu sebagai upaya KPU untuk memastikan pemilih yang terdaftar adalah benar yang menggunakan hak pilihnya.
“Ini juga untuk mengantisipasi orang yang tidak berhak ikut memilih. Jangan sampai orangnya nggak ada tapi suaranya ada,” tegasnya.
Selain itu, Hasyim menegaskan, rekomendasi hasil pengawasan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) atas pencoblosan di Kuala Lumpur su­dah dilaksanakan KPU. Isinya, meminta PSU dilaksanakan untuk metode pos dan KSK
Rekomendasi itu dikeluarkan Bawaslu, karena mendapati data pemilih yang dis­usun dalam daftar pemilih tetap (DPT) di Kuala Lumpur bermasalah. Basis data pemilih yang dilakukan pencocokan dan penelitian (coklit).


“Yaitu Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4), hanya 12 persen dari total sekitar 490 ribu lebih nama,” katanya.
Hasyim membantah, KPU khususnya PPLN tidak benar dalam menyusun DPT di Kuala Lumpur. Dia menjelaskan, angka 497 ribu merupakan hasil DP4 dan dicek kembali pada alamat yang dikenali.
“Itu sekitar 62 ribu. Dan yang lain itu alamatnya tidak dikenali,” kilah dia.
Tak cuma itu, Hasyim juga tidak sepakat apabila PSU pada Pemilu 2024 di Kuala Lumpur disebut-sebut mirip dengan kejadian PSU di wilayah yang sama pada Pemilu 2019.
“Kalau 2019 masalah di Kuala Lumpur bukan soal daftar pemilihnya, tapi ditemukan surat suara dengan metode pos yang dicoblos oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab,” tuturnya.
Hasyim juga membantah temuan Bawaslu bahwa ada keterkaitan dan ketidaksesuaian data pemilih dengan munculnya peristiwa surat suara pemilihan metode pos yang dicoblos bukan oleh pemilih dalam jumlah banyak.


Yaitu, peristiwa dalam videoq viral di media sosial (medsos). Terdapat sejumlah orang berada di suatu ruangan, dan ter­dapat surat suara pos berkarung-karung, kemudian dicoblos sesuai keinginan pihak tertentu yang diduga mempeker­jakan mereka
Komisioner KPU dua periode ini memastikan, PSU untuk pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan legislatif (Pileg) untuk daerah pemilihan (Dapil) II DKI Jakarta tahun 2024 di Kuala Lumpur, akan dimulai dari pemutakhiran data pemilih.
“Jadi, berdasarkan (hasil pengawasan) pemilihan oleh Bawaslu, baik Panwaslu Kuala Lumpur maupun KPU Pusat, dipandang penting untuk memeriksa kembali, memutakhirkan kembali daftar pemilih di Kuala Lumpur sebagai basis untuk PSU,” tutupnya.


Sebelumnya, Migrant Care menemu­kan dugaan kecurangan Pemilu 2024 di Kuala Lumpur, Malaysia. Dugaan kecurangan itu terjadi melalui surat suara metode pos. Ada indikasi modus jual beli surat suara dengan memanfaatkan surat suara metode kotak pos di jalur tangga apartemen, tanpa memberikannya kepada pemilih secara langsung.
“Saya sering lalu-lalang dan naik turun apartemen, tapi saya tidak tahu apakah saya mendapatkan kiriman surat suara pos atau tidak. Saya tidak pernah tahu,” kata Anggota Migrant Care Muhammad Santosa.
Santosa mengatakan, pedagang surat suara memanfaatkan ketidaktahuan pemi­lih. Mereka memang sengaja mengincar kotak pos di sejumlah apartemen. (jpnn)

  • Bagikan