Kesehatan sangatlah penting untuk menunjang aktivitas manusia, tidak hanya kesehatan kesehatan raga, tetapi juga kesehatan jiwa.
Oleh: Andi Muhammad Asbar, Dosen STAI Al-Gazali Bulukumba
Manusia modern mulai sadar akan pentingnya budaya hidup sehat, di tengah bermunculannya beragam penyakit yang tidak lagi mengenal usia. Akhirnya, fasilitas umum menjadi area ‘Car Free Day’ (CFD) di kota-kota metropolitan, lalu menjadi titik temu bagi masyarakat untuk berolahraga, seperti jogging, berjalan cepat, dan lainnya. Masyarakat urban perkotaan juga memakai fasilitas gym atau fitness, sebagai layanan latihan kebugaran tubuh, untuk atletik, kardio dan senam.
Selain dari menjaga kesehatan fisik, ada satu hal lagi yang penting untuk dijaga, yaitu kesehatan jiwa. Sebab, apabila gangguan atau krisis kejiwaan melanda manusia maka resep minum obat tiga kali sehari jadi tidak mempan lagi.
Seorang ulama mahsyur bernama Imam Al-Ghazali bercerita dalam karyanya al-Munqizs Min al-Dlalal, bahwa ....Aku renungkan niatku dalam mengajar, ternyata niatku bukan karena Allah, melainkan niat untuk mencari popularitas, pangkat dan jabatan, sehingga mengantarkanku ke jurang kehancuran. Sungguh, aku akan terjilat oleh api neraka sekiranya tidak segera memperbaiki diri… Setan selalu membisikkan bujuk-rayunya: ‘hidup ini adalah peluang bagus untuk mendapatkan segalanya; jangan kau sia-siakan’…. Hatiku bergemuruh menahan rasa sedih; bahkan aku tak mampu mengunyah makanan, sehingga kian hari badanku melemah. Para dokter sibuk berusaha mengobati, namun akhirnya mereka tahu bahwa sakit yang kuderita berasal dari kesedihan hati. Maka kesembuhan pun hanya bisa terjadi, bila ada ketentraman hati.
Jika Imam Al-Gazali saja mengalami krisis kejiwaan, karena tersadar dengan pangkat, popularitas, dan jabatan yang dinikmatinya tidak membawa pada ketenangan hati/jiwa. Lantas, bagaimana dengan kita ini yang sibuk berburu jabatan, pangkat dan ketenaran? Mungkin perlu ada pengendalian diri, jika tak kunjung direbut atau dimikili tak usah risau, karena akan menumbuhkan benih iri hati lalu menghadirkan kedengkian.
Lalu bagaimana dengan mereka yang mengalami krisis kejiwaan, bukan karena tersadar atas kenikmatan jabatan, pangkat dan popularitas? Tetapi datangnya berasal dari penderitaan akibat tekanan ekonomi, hutang yang menggunung, konflik rumah tangga, perudungan, tidak ada reward yang ada punishment di tempat kerja, berharap kasih sayang namun berbalas kebencian dan perlakuan kasar?
Saya ingin menunjukkan contoh kasus, tahun 2022 lalu letaknya di Brebes, Jawa Tengah. Seorang istri muda, bernama Kanti Utami tega menggorok tiga anaknya. Dugaan motif pelaku bermaksud membebaskan anak dari ancaman penderitaan hidup karena tekanan ekonomi, atau ingin menghukum suaminya dengan cara menjadikan anaknya sebagai tempat pelampiasan.
Penyakit mental lainnya, seperti memaksakan gaya hidup flexing di tengah keterbatasan ekonomi hanya untuk mendapatkan sanjungan, atu pujian dari orang lain. Hidup hanya untuk pemenuhan keinginan bukan pada kebutuhan, sehingga beragam cara ditunjukkan agar dilihat kaya, seperti kebanyakan orang.
Bulan Ramadan ini, semestinya bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki kesehatan jiwa atau mental kita, agar terhindar dari krisis kejiwaan yang butuh waktu lama untuk sembuh. Kemampuan kita untuk menahan lapar dan dahaga, juga harus sejalan dengan pengendalian diri kita atas tindakan berlebihan yang merugikan diri sendiri.
Termasuk menumbuhkan sikap peduli terhadap sesama, boleh jadi kurangnya sikap peduli atau perhatian dari masyarakat sekitar sehingga orang-orang mudah untuk nekat mengakhiri hidup. Atau kita yang lemah iman, sehingga tidak tahan menjalani kehidupan yang semrawut. ****