Hakim Vonis Ringan Oknum Polisi Pelaku Kekerasan Seksual, LBH Makassar Desak Kejaksaan Banding

  • Bagikan

MAKASSAR, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Briptu Sanjaya, seorang anggota polisi yang terlibat dalam kasus kekerasan seksual terhadap tahanan perempuan, divonis bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Makassar. Dalam persidangan yang digelar pada 11 September 2024, Sanjaya dinyatakan terbukti melakukan tindak kekerasan seksual fisik sebagaimana diatur dalam Pasal 6 huruf c Jo. Pasal 15 huruf c UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

Atas perbuatannya, Briptu Sanjaya dijatuhi hukuman tiga tahun penjara dan denda sebesar Rp10 juta, dengan subsider dua bulan penjara. Hukuman ini jauh lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa, yang sebelumnya menuntut hukuman 10 tahun penjara.

Menanggapi putusan tersebut, LBH Makassar selaku Tim Penasehat Hukum Korban menyatakan kekecewaannya. Menurut mereka, vonis ringan ini tidak mencerminkan keadilan yang layak diterima oleh korban kekerasan seksual. Mereka menyoroti bagaimana Majelis Hakim gagal mempertimbangkan pola kekerasan berulang dan relasi kuasa antara pelaku dan korban.

“Kami melihat, seharusnya dengan adanya keterangan korban dan saksi-saksi, Majelis Hakim bisa melihat pola kekerasan yang terjadi berulang kali terhadap korban,” ungkap Mirayati Amin, salah satu Penasehat Hukum korban.

Mirayati juga menambahkan bahwa relasi kuasa antara pelaku sebagai aparat kepolisian dan korban sebagai tahanan membuat posisi korban sangat rentan.

Hutomo M. P., Koordinator Bidang Hak-Hak Sipil dan Politik LBH Makassar, juga mengkritik putusan tersebut. Ia menilai hukuman yang dijatuhkan jauh dari rasa keadilan.

“Perbuatan pelaku dilakukan berulang kali dan ia memanfaatkan posisinya sebagai aparat penegak hukum. Ini menunjukkan adanya relasi kuasa yang tidak seimbang, sehingga pelaku seharusnya menerima hukuman maksimal,” ujar Hutomo.

LBH Makassar pun mendesak Jaksa Penuntut Umum untuk mengajukan banding atas vonis ringan yang dijatuhkan kepada Briptu Sanjaya, mengingat kasus ini bisa menjadi preseden buruk bagi penanganan kekerasan seksual yang melibatkan aparat.****

  • Bagikan