La Bungko Bungko; Melestarikan Legenda dan Dongeng Suku Kajang

  • Bagikan

Oleh: Aulia Anggraini (Blogger, Penulis Puisi dan Prosa)

Judul Buku : La Bungko Bungko dan Cerita-Cerita Lainnya
Penulis : Rusli Mallatong
Editor : Andhika Mappasomba Daeng Mammangka
Penerbit : Rumah Bunyi
Cetakan : Pertama, Desember 2021
ISBN : 978-623-6760-09-3
Tebal : 158 Halaman

“Dalam cerita Rupama Kajang Cammani-Mani dan Bombong-Diahe, diceritakan bahwa terjadilah kegaiban pada saat itu, nahabori ere bambang i nenek (Nenek tersiram air panas) dan hilang di tempat kejadiannya. Cammani-Mani dan Bombong Diahe merasa lega walau mereka juga tetap sedih atas kehilangan sang Nenek. Mereka tak punya siapa-siapa lagi. Sebab ibunya telah meninggal, sedang ayahnya tak mempunyai istri baru. Masyarakat Kajang menyebutnya sebagai Nenek Pakanre Ate (Nenek pemakan hati/jantung).” –Cammani-Mani dan Bombong-Diahe

***

Belakangan ini sastra tradisional (traditional literature) terus hidup dengan tradisinya dan berkembang dalam ragam bentuk, mulai dari fabel, epos, pertanyaan tradisional, puisi rakyat, legenda dan dongeng, serta nyanyian rakyat. Sejatinya pelestarian mengenai cerita sejarah nenek moyang merupakan suatu tujuan dalam memahami dan mengetahui identitas dan asal usul mereka, dongeng ataupun legenda merupakan salah satu sastra tradisional yang mempresentasikan beberapa sejarah leluhur.
Karakteristik yang dibangun dari buku ini sebagai bentuk pengetahuan imajinal, emosional dan intelektual. Membangun alur melalui perspektif lokal dengan mengangkat tema yang turun temurun dan seringkali diceritakan melalui mulut ke mulut kemudian dilestarikan oleh Rusli Mallatong dalam sebuah bentuk tulisan sebagai upaya agar tetap terjaganya dongeng-dongeng dari tanah leluhur. Eksistensi dongeng rakyat merupakan suatu fenomena budaya yang bersifat universal sehingga melahirkan sastra dongeng bukan berarti hanya untuk dikonsumsi anak-anak tetapi bisa jadi juga untuk orang dewasa, tokoh masyarakat, tokoh agama dan bahkan untuk lembaga pemerintah dan inilah yang nampaknya berhasil disalurkan dari karya Rusli Mallatong melalui dongeng-dongeng suku Kajang.
La Bungko Bungko dan Cerita-Cerita Lainnya hadir sebagai bentuk manifestasi eksistensi ranah sastra dengan menyajikan dongeng atau legenda suku Kajang Bulukumba. Suku Kajang sendiri berada di wilayah Desa Tana Toa, sekitar 60 kilometer dari pusat kota Bulukumba Sulawesi Selatan. Memiliki kekayaan alam yang indah, suku Kajang terkenal hingga mancanegara dan diketahui sebagai kota para pembuat kapal Phinisi atau dalam bahasa bugis diberi julukan Butta Panrita Lopi. Suku Kajang merupakan suku yang kokoh dalam memegang adat dan tradisinya.
Di tengah modernisasi saat ini, Suku Kajang diketahui menjunjung tinggi nilai kearifan lokal budaya berkembang dalam aturan dan adat yang dipegang teguh dari leluhur mereka yang seringkali disebut “Pasang Ri Kajang” atau “Pesan di Kajang”. Suku Kajang bahkan menolak segala bentuk modernitas, memakai pakaian serba hitam yang dianggap sebagai simbol kekuatan, kesamaan derajat bagi setiap orang di depan sang pencipta, tidak menggunakan alas kaki , membangun rumah dengan tidak menggunakan batu bata agar hutan tetap terlindungi, mengingat pembuatan batu bata yang memerlukan lebih banyak kayu untuk pembakarannya serta posisi rumah yang masing masing menghadap ke barat.
Bersandar pada pandangan hidup dan adat Suku Kajang, Rusli Mallatong sebagai penulis buku La Bungko Bungko dan Cerita-Cerita Lainnya yang juga merupakan seorang lelaki asli Suku Kajang dan hidup dalam lingkaran kebudayaan Kajang yang kuat, tergerak untuk konsisten mengumpulkan banyak kisah dari para tetua lalu menyusunnya menjadi sebuah narasi dan pesan-pesan yang berkembang sebagai bentuk pertahanan kearifan lokal Sulawesi Selatan di era modernisasi saat ini.
Buku La Bungko Bungko dan Cerita-Cerita Lainnya jika diartikan dari bahasa “Bungko” yang berarti “Bungsu” mulai disusun semenjak 2013 silam sebagai bentuk perjalanan panjang dari Rusli Mallatong. Berbekal ingatan masa kecil ketika mendengar dongeng dari para terdahulu dan riset dari para tetua, Rusli Mallatong meneliti kembali legenda dan dongeng ke beberapa penutur sehingga semakin memperkuat data, kemudian 2021 diterbitkan oleh Penerbit Rumah Bunyi dan menjadi karya tunggal pertama dari si penulis yang dalam hal ini berhasil memberi kontribusi besar melalui sepuluh cerita dongeng Tanah Kajang.
Dengan tebal halaman 158 lembar, dan sepuluh cerita dongeng asli Kajang yang masing-masing berjudul Si Kembar dan Kakek Misterius, Asu Bolong dan La Bungko-Bungko, Da Pangka dan Da Tinggi, Cammani-Mani dan Bombong Diahe, Karaeng Tangnga Tangnga, Lompo Golo, Sangga Ulu, Seekor Kerbau dan Burung Cui Cui yang licik, La Huta, dan Tokasi Anak Putri Duyung. Rusli Mallatong menyusun cerita demi cerita secara apik, mencatat kekayaan khasanah budaya, memperlihatkan ajaran-ajaran etika dan moralitas yang memiliki keterkaitan erat dan menjadikannya corak utama dalam buku yang ia tulis.
Dilihat dari fungsi kesastraan, buku La Bungko Bungko dan Cerita-Cerita Lainnya karya Rusli Mallatong ini membawa pengaruh afektif dan kognitif. Membawa para pembaca untuk berimajinasi dan secara tidak sadar untuk berpikir kritis mengenai cerita yang ada pada dongeng dan kehidupan nyata. Merawat dan mengulas kembali aspek-aspek tradisional yang dipandang sebagai pembelajaran moral segala usia. Melalui cerita-cerita dongeng yang ditampilkan, buku ini dapat pula menjadi sarana intelektualitas yang baik dalam membentuk karakter anak anak yang masih duduk di bangku sekolah. Sehingga sangat cocok dibaca dari kalangan anak-anak hingga dewasa. Dan tentu saja, melalui buku karya Rusli Mallatong ini ada beberapa hal yang dapat dipahami melalui gagasan, ide dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya.
Akhirulkalam, Terlepas dari segala aspek positif buku karya dari Rusli Mallatong ini terdapat pula beberapa kekurangan didalamnya. Tak bisa dipungkiri dalam buku La Bungko Bungko dan Cerita-Cerita Lainnya masih saja ada kalimat yang terkesan kaku dan sulit dicerna oleh pembaca. Pemberian catatan kaki terhadap beberapa kalimat lokal sangatlah sedikit, sementara catatan kaki untuk para pembaca dianggap menjadi aspek yang tak kalah penting dalam memahami suatu dongeng, legenda, atau cerita rakyat. Sehingga pembaca seringkali kurang memaknai apa yang tertulis. Namun itu tak mengurangi sisi positif dari buku La Bungko Bungko dan Cerita-Cerita Lainnya. (*)

  • Bagikan