Bukan Soal Identitas, Tapi Alat Tangkap yang Merugikan Nelayan Lain

  • Bagikan
Gambar ilustrasi/Pixabay

BULUKUMBA, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Pengrusakan kapal milik nelayan asal Kabupaten Bantaeng yang diduga dilakukan  di wilayah perairan Kabupaten Bulukumba berbuntut panjang.

Meski belum diketahui jelas siapa pelaku pembakaran namun korban menuding bahwa itu didalangi oleh oknum nelayan asal Kabupaten Bulukumba.

Atas kejadian tersebut sekelompok nelayan Bantaeng melakukan aksi protes dengan melakukan pemblokiran jalan poros Bantaeng - Bulukumba, di Kampung Ujung Labbu Kelurahan Lembang, Kecamatan Bantaeng, Kabupaten Bantaeng.

Sekelompok massa tersebut memblokir jalan sepanjang hari pada Sabtu, 20 Agustus 2022, khusus bagi warga Bulukumba yang hendak melintas di Kabupaten Bulukumba.

Berdasarkan informasi yang diperoleh RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID konflik horizontal antara nelayan di perairan Kabupaten Bulukumba memang masih sering terjadi.

Utamanya konflik antara nelayan setempat dengan nelayan yang datang dari daerah lain termasuk dari Kabupaten Bantaeng.

Kepala Bidang Perikanan Tangkap, Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bulukumba, Jusli Sandi menjelaskan bahwa konflik antar nelayan sebenarnya bukan soal identitas.

Namun dilatarbelakangi adanya nelayan yang merasa terganggu dari aktivitas nelayan lain yang menggunakan alat tangkap perre-perre dengan alat bantu berupa lampu.

"Nelayan yang dari luar (Kabupaten Bulukumba, red) menangkap ikan menggunakan lampu di perairan tradisional mereka (nelayan setempat)," ungkapnya, Senin, 22 Agustus 2022.

"Sehingga nelayan lokal yang selama ini hanya menggunakan jaring insang hanyut, kesulitan bersaing dalam mendapatkan ikan," lanjutnya.

Meski Jusli membenarkan bahwa tidak ada tapal batas kedaerahan dalam wilayah laut, namun tetap saja nelayan mesti mematuhi aturan dalam proses penangkapan ikan.

"Penggunaan alat bantu ini diatur pada PermenKP Nomor 18 Tahun 2021, di mana penggunaan alat bantu lampu untuk semua jenis alat tangkap yang bersifat aktif dan mobile hanya boleh digunakan di atas jalur penangkapan ikan 1A (2 Mill, red) atau tidak boleh di perairan pantai," papar pemegang tittle Sarjana Kelautan tersebut.

"Adapun alat tangkap dengan lampu yang dibolehkan di perairan pantai hanya yang bersifat menetap seperti Anco dan Bagan Tancap," tambahnya.

Meskipun dalam aturan itu tidak menyebut secara spesifik alat tangkap Perre-perre yang digunakan oleh nelayan Bantaeng karena alat tangkap jenis ini memang baru dan belum diidentifikasi oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan.

Namun secara prinsip kerja alat ini termasuk dalam golongan jaring angkat dengan bantuan lampu dan diatur dalam lampiran permen bahwa alat sejenis ini hanya boleh beroperasi diperairan 2 mil ke atas.

"Kejadian serupa juga pernah terjadi pada alat tangkap yang bernama cantrang, alat ini merupakan modifikasi dari alat tangkap terlarang yaitu Pukat Harimau."

"Karena pukat harimau dilarang di aturan formal ada oknum berusaha mengelabui aturan dengan memodifikasi pukat harimau menjadi Cantrang, sayap kayu pukat harimau dihilangkan dan berganti nama menjadi Cantrang," ungkapnya.

Selain itu, berdasarkan standar FAO (Food and Agriculture Organization) sebuah organisasi dibawah naungan PBB menyebut bahwa ada sembilan kriteria alat tangkap dikatakan ramah lingkungan atau Standar Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF).

Antara lain, mempunyai selektifitas tinggi tidak merusak habitat, menghasilkan ikan yang berkualitas tinggi, tidak membahayakan nelayan, produksi tidak membahayakan konsumen.

Selanjutnya, By Catch rendah, dampak ke biodiversity rendah, tidak membahayakan ikan-ikan yang dilindungi, serta dapat diterima secara sosial.

Dari ke Sembilan kriteria di atas, alat tangkap Perre-perre ini tidak memenuhi kriteria ke-sembilan karena jenis alat tangkap itu tidak dapat diterima secara sosial oleh masyarakat lokal.

Dan kemungkinan juga tidak memenuhi kriteria 1 dan 6 karena ukuran mata jaring yang digunakan berlum distandarisasi sehingga semua jenis dan ukuran ikan akan tertangkap oleh alat tangkap ini.

Jusli menyarankan, dengan berbagai polemik untuk mengatasi konflik ini berlarut-larut diperlukan upaya mediasi antara kedua belah pihak.

"Kekerasan yang dilakukan oleh nelayan dengan cara main hakim sendiri memang tidak dapat dibenarkan, namun prinsip mencari nafkah juga harus ditekankan agar tidak menganggu pihak lain," tukasnya. (*)

  • Bagikan