Frasa ‘Gangguan Lain’ Digugat ke MK, Dianggap Bisa Bikin Pemilu Ditunda

  • Bagikan

JAKARTA, RADARSELATAN.FAJAR.CO.ID -- Mahkamah Konstitusi (MK) diminta menghapus frasa 'gangguan lainnya' yang terdapat di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Frasa itu dianggap multitafsir dan bisa berpengaruh pada keberlangsungan Pemilu 2024.
Gugatan itu dilayangkan seorang advokat bernama Viktor Santoso Tandiasa. Frasa 'gangguan lainnya' yang dimaksud berada pada Pasal 431 ayat 1 dan Pasal 432 ayat 1 UU Pemilu. Kedua pasal itu masuk dalam Bab XIV terkait Pemilu Lanjutan dan Pemilu Susulan. Berikut isinya:

Pasal 431 ayat 1

Dalam hal di sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu lanjutan.


Pasal 432 ayat 1

Dalam hal di sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu susulan.

"Menyatakan Pasal 431 ayat 1 UU Pemilu terhadap frasa 'gangguan lainnya' bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menyatakan pasal 432 ayat 2 UU Pemilu terhadap frasa 'gangguan lainnya' bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," demikian permohonan Viktor yang dilansir website MK, Minggu (26/3/2023).

Viktor menilai alasan 'gangguan lainnya' tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat menyebabkan penyelenggaraan pemilu tertunda. Padahal, menurutnya, konstitusi mengatur dan menjamin bahwa pelaksanaan pemilu dilakukan tiap lima tahun sekali.

"Mengingat pentingnya pemeriksaan perkara pengujian ini, MK diminta untuk secara cepat memanggil para pihak, baik pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) maupun penyelenggara pemilu (Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu)," ujar Viktor.

Viktor menilai frasa 'gangguan lainnya' dalam dua pasal tersebut mengandung ketidakjelasan, gangguan seperti apa yang dimaksud dalam frasa tersebut. Pemaknaan yang multitafsir dan sangat luas tersebut dapat membuat banyak kondisi dapat dimaknai sebagai syarat untuk dapat dihentikannya pelaksanaan pemilu.

Salah satu fakta yang dapat dikategorikan sebagai pemaknaan frasa 'gangguan lainnya' adalah putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memerintahkan penundaan tahapan pemilu selama 2 tahun 4 bulan 7 hari. Ada perintah agar penundaan tersebut dijalankan lebih dahulu secara serta-merta (uitvoerbaar bij voorraad). Viktor mengatakan putusan PN Jakpus tersebut jika tidak dilaksanakan dapat menyebabkan penyelenggaraan pemilu menjadi cacat hukum karena dianggap membangkang putusan PN Jakpus itu.

"Upaya hukum banding yang dilakukan KPU tetap membutuhkan waktu, terlebih jika upaya hukum sampai di tingkat kasasi dan peninjauan kembali," ucap Viktor.

Apabila KPU tetap melaksanakan tahapan pemilu, menurut Viktor, perlu dipikirkan konsekuensi ancaman hukum yang menanti lembaga tersebut. Misalnya, jika ada pihak lain menggugat KPU ke pengadilan tata usaha negara karena dianggap telah melakukan perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige overheidsdaad) karena tidak melaksanakan putusan PN Jakpus.

"KPU menjadi berada dalam posisi yang dilematis dan lemah secara hukum dalam melaksanakan penyelenggaraan pemilu dan hal ini dapat menjadi dasar untuk dilaksanakannya pemilu susulan dan/atau pemilu lanjutan karena dianggap memenuhi syarat dalam bentuk 'gangguan lainnya'," ujar Viktor.

Permohonan ini sudah didaftarkan ke MK dan masih berjalan. (in)

  • Bagikan