Lika-Liku Meraih Kebahagiaan, Nasihat Ramadan dari Andi Muhammad Asbar

  • Bagikan
Andi Muhammad Asbar, Dosen STAI Al-Gazali Bulukumba

Pada mulanya, mungkin kita berpikir bahwa kebahagiaan hanya satu, itu saat harapan kita tercapai. Namun, seiring berjalannya waktu, muncul lagi tawaran kebahagiaan lainnya yang lebih menggoda untuk direbut. Dengan itu, bisa dikatakan kebahagiaan punya banyak cabang, dan setiap cabang ada rantingnya. Kalau tidak ada rasa syukur yang bersemayam dalam jiwa, maka kita pun sibuk mencari kebahagiaan tersebut.

Oleh: Andi Muhammad Asbar
(Dosen STAI Al-Gazali Bulukumba)

Dalam Kîmiyâ’ al-Sa‘âdah, Imam Al-Gazali berpesan bahwa ‘Dunia menipu manusia dengan berbagai cara, seperti menampakkan diri sebagai sesuatu yang remeh dan sepele, tetapi setelah dikejar ternyata ia punya cabang yang begitu banyak, dan panjang sehingga seluruh waktu, dan energi manusia dihabiskan untuk mengejarnya’. Hasrat manusia mengejar kebahagiaan di dunia, seringkali melampaui batas. Kita (manusia) tega merebut kebahagiaan orang, atau kebahagiaan kita diukur dengan materi sehingga kita pakai berbagai cara untuk meraihnya.

Sayyidina Ali berkata orang bahagia itu adalah mereka yang bisa mengukur harapannya dan kemampuannya. Tentu akan mendatangkan derita bagi orang-orang yang justru memilih memaksakan harapannya terpenuhi, padahal ia tahu batas kemampuannya.

Ada pula ‘pribadi malaikat’, ia rela mengorbankan kebahagiaanya, agar orang lain lebih bahagia, walaupun harus menelan pil duka dan sedih. Jalan ini dibutuhkan kebesaran hati dan mental baja, kalau tak sanggup jangan mencobanya.

Dikisahkan bahwa seorang ulama Sufi yang terkenal zuhud bernama Ibrahim bin Adham (100-165 H), ia seorang pedagang yang sukses. Di tengah perjalanan beliau mendapati seekor burung yang sayapnya patah, tidak dapat terbang dan terpuruk di tempatnya. Seketika beliau menyuruh rombongannya berhenti. ‘Demi Allah, aku mau melihat akankah ada burung yang mendatanginya membawa makanan atau akankah dia mati?’ kata sufi tersebut.

Setelah menunggu lama, tiba-tiba datang seekor burung lalu dia menempelkan paruhnya ke paruh burung yang sakit itu, lalu dia memberinya makanan. Dengan spontan, Ibrahim bin Adham langsung berikrar bahwa ia akan meninggalkan dagangnya dan duduk tenang di rumah dengan terus beribadah kepada Allah, sebab ia telah menyaksikan sifat Maha Dermawan-Nya Allah dan pemberian rezeki-Nya tanpa diduga-duga.

Lalu kabar tersebut didengar oleh Imam As-Syibli, seorang sufi yang juga terkenal zuhud. Ia mendatangi Ibrahim bin Adham, berkata: ‘Kenapa kamu meninggalkan daganganmu dan duduk di rumahmu seperti ini?’ Ibrahim bin Adham menceritakan kisah yang dialaminya tentang perihal burung itu. Lalu As-Syibli menjawab ‘Hai Ibrahim! Kenapa engkau malah memilih menjadi burung yang lemah, bukan memilih menjadi burung yang membawakannya makan?’

Sekalipun kisah ini menyangkut perkara rezeki, tapi bisa dihubungkan dengan kebahagiaan. Mungkin kesuksesan Ibrahim bin Adam sebagai pedagang bukanlah puncak kebahagiaan, namun ia mencari kebahagiaan yang mana tidak harus dengan usaha dan kerja keras. Ibarat burung yang lemah, namun tetap bisa makan karena pemberian orang lain.

Meraih kebahagiaan membutuhkan kerja keras, jangan bermimpi mendapatkannya hanya dengan berharap pemberian orang lain. Kita harus sama-sama bahagia, dan mensyukuri kebahagiaan yang kita miliki, tak perlu bahagia seperti orang lain. Karena, kebahagiaan ada kadarnya.

Di Ramadhan ini, penjual takjil akan bahagia jika dagangannya laris, sama bahagianya dengan pembeli yang memiliki takjil sebagai hidangan berbuka puasa. Mereka yang Pegawai Negeri Sipil, dapat kabar bahagia karena sebentar lagi Tunjangan Hari Raya (THR) akan cair. Bagilah kebahagiaanmu tersebut, kepada saudara, kerabat atau orang-orang yang membutuhkannya, agar mereka juga bisa merasakan percikan THR.

Kalau bahagiamu belum datang, jangan rebut kebahagiaan orang lain. Sabar dan optimislah bahagiamu juga akan datang. ****

  • Bagikan