Hikmah Ramadan oleh Bahrul Amsal: Senang atau Sedih Jelang Akhir Ramadan

  • Bagikan
Ilustrasi malam Ramadan

Ramadan kali ini telah memasuki masa setengah babak. Sebagian kalangan meresahkan mengapa puasa tidak signifikan bagi perkembangan kejiwaan manusia. Apa sebab rutinitas menahan makan-minum membuat sebagian kita masih tergelincir kubangan lumpur hawa nafsu. Mengapa setelah banyak menghabiskan waktu sujud tidak membuat budi perangai makin halus. Mengapa seiring menamatkan Al-Quran tidak menambah pengetahuan dan wawasan keberagamaan.

Bahrul Amsal, Dosen Sosiologi FIS-H UNM

Syahdan, kehidupan kita tidak banyak berubah. Jangan-jangan kita telah gagal menjadi santri dari madrasah ruhaniah Ramadan. Jangan-jangan itulah jenis puasa yang selama ini dihardik Rasulullah, puasa yang hanya sekadar memindahkan agenda makan dari pagi ke waktu malam hari.

Semalam, seorang mubaligh menegaskan ada dua jenis respons umat ketika memasuki masa-masa akhir Ramadan. Seolah-olah itulah pesan terakhirnya setelah masjid tidak lagi menyelenggarakan ceramah meski tetap melanjutkan ritual ibadah tarwih. Dua pekan ke depan mari sibukkan diri di masjid-masjid beribadah lebih intens seperti sunnah Rasulullah di masa lalu. Bagi sebagian orang waktu berpuasa berjalan makin cepat dikarenakan begitu sedikitnya waktu untuk melakukan pertobatan diri, untuk muhasabah sebelum ia menjemput hari raya kemenangan. Bagi sebagian umat ini, cara mereka merespons masa akhir Ramadan bagai meratapi kesedihan, tidak akan lagi dapat bertemu dengan masa yang sama di tahun selanjutnya.

Bagi kelompok kedua, cenderung agak pragmatis walaupun ia juga melakukan ibadah puasa yang sama seperti dengan kelompok pertama. Responsnya lebih senang jika bulan puasa segera berakhir karena akan segera memasuki masa normal dapat betindak sesuka hatinya. Bagi kelompok ini tidak ada keutamaan-utamaan dua pekan akhir, termasuk dalam meraih keberkahan malam-malam ganjil laylatul qadr. Di salah satu moment itulah telah turun Al-Quran sebagai cahaya pembimbing umat manusia.

Ternyata itulah karakteristik masyarakat kiwari. Menurut Erich Fromm, seorang sosiolog Jerman, kelompok kedua ini masih berupaya hidup dengan modus eksistensi to have (memiliki), yakni cara berada dengan obsesi besar untuk memiliki, mengumpulkan, mengoleksi, menyimpan barang-barang secara berlebihan untuk menyatakan dirinya. Menurut perspektif psikologi jiwa, modus eksistensi ini tidak sehat. Kata Fromm, jiwa yang cenderung berhasrat untuk memiliki masih belum dapat keluar dari penjara egonya.

Lalu seperti apakah jiwa yang sehat itu? Masih menurut Fromm, untuk sampai ke sana, manusia lebih baik hidup dengan modus eksistensi to be (menjadi), yakni cara hidup untuk merealisasikan sesuatu dengan proses dan tujuan ideal. Dalam kaitannya dengan makna puasa, sudah tentu untuk sampai kepada derajat takwa, yakni menjadi pribadi yang bermakna dan taat kepada semua perintah Allah swt.


Seperti diketahui puasa adalah cara manusia lepas dari selimut keinginan-keinginan (shiyam), suatu modus hidup yang dinyatakan di dalam era sekarang sebagai keinginan besar untuk memiliki banyak hal (to have). Seolah-olah telah menjadi trend hidup bahwa dengan cara memiliki banyak hal akan mendatangkan kebahagiaan. Padahal, itulah modus hidup yang menjadi sasaran akhir puasa: ketakwaan.

Terkait dengan malam laylatul qadr,  Al-Qur’an menceritakan di malam kemuliaan itu atas izin tuhan malaikat turun di muka bumi menaburkan doa dan berkat. Mereka menyampaikan salam bagi umat manusia yang menghidupkan malam ganjil akhir Ramadan dengan  amalan saleh. Menurut Fakhr Al-Razi ilmuwan besar Islam, bahkan di hari itu para malaikat sendiri rindu segera turun ke muka bumi.  Mengapa bisa demikian? Karena pertama, hanya ada di bumi orang-orang cukup harta memberi makan kaum miskin (fukara). Kedua, karena tidak di temukan di tempat lain selain di bumi, para ahli maksiat merintih pertobatan menyadari dosa-dosanya di malam-malam akhir Ramadan.

Jadi, kemuliaan malam laylatul qadr bukan saja terletak dalam makna intrinstiknya karena di malam itu Al- Qur’an turun (nuzul) pertama kalinya, tapi karena bagi umat Rasulullah, di malam itulah secara ekstrinsik melakukan kegiatan-kegiatan amal saleh (zikir, doa, sedekah, zakat) dalam menyambut laylatul qadr.


Syahdan, pada malam-malam terakhir Ramadan, sambutlah kemuliaan malaikat dengan dua ketaatan yang tidak pernah dilakukan penghuni langit, yaitu dengan cara menggembirakan kaum fakir miskin, dan merintih memohon ampunan kepada Allah swt.

Terakhir, ditelisik ke dalam pengertian teologis dan sosiologis, malam laylatul qadr itulah malam-malam pembebasan oleh sebab di moment itu umat manusia melakukan pertobatan atas ketetapan takdir hidup yang telah ia lakukan, yang atas ampunan-Nya lah pembebasan itu terjadi. Kedua, di malam itu juga umat muslim kembali menegaskan modus kehidupan eksistensi to be untuk bersiap menjadi pribadi takwa. Menjadi manusia seutuhnya setelah tiga puluh hari berperang dengan keinginan rendah nafsu kebinatangannya. Keinginan-keinginan duniawi yang gemar memiliki banyak kepemilikan.

Itulah sebabnya, kelak makna hari raya idul fitri tidak begitu bermakna bagi orang-orang  yang masih mempertahankan kehidupannya  dengan modus eksistensi to have (memiliki) karena masih terikat desakan harta duniawi yang memenjaranya. Hanya kepada manusia-manusia yang bermodus eksistensi to be lah makna bertakwa itu patut disematkan. Mereka yang telah bersih dan terbebas dari kepemilikan ego. Kepada merekalah hari raya itu makin afdol ketika secara kolektif mengucapkan takbir kemenangan. Semoga kita tergolong demikian.****

  • Bagikan